"Dialah yang memerintah dengan berkuasa atas manusia, Dialah yang memerintah dengan takut."
Kitab Ayub adalah sebuah karya sastra kuno yang mendalam, menggali pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang penderitaan, keadilan ilahi, dan sifat Allah. Dalam salah satu bagiannya, yaitu pasal 25 ayat 2, kita dihadapkan pada pengakuan kuat mengenai otoritas dan kuasa Allah atas seluruh ciptaan, termasuk umat manusia. Kalimat sederhana namun padat makna ini merangkum esensi dari hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.
Ayat ini, disampaikan oleh salah satu sahabat Ayub, Bildad, menggarisbawahi dua aspek utama dari pemerintahan Allah: kekuasaan yang mutlak dan dampak kekuasaan tersebut yang menimbulkan rasa hormat dan bahkan ketakutan. "Dialah yang memerintah dengan berkuasa atas manusia" menegaskan bahwa tidak ada entitas atau kekuatan lain yang menandingi otoritas Allah. Kekuasaan-Nya bersifat universal, mencakup setiap aspek kehidupan, setiap individu, dan setiap bangsa. Ini bukan sekadar kekuasaan politik atau militer, melainkan kekuasaan kosmis yang mengatur pergerakan bintang-bintang, siklus alam, hingga detak jantung setiap makhluk. Dalam kerangka ini, manusia hanyalah bagian kecil dari ciptaan yang luas, namun tetap berada di bawah kendali penuh Sang Penguasa Agung.
Aspek kedua, "Dialah yang memerintah dengan takut," menyoroti respons yang seharusnya muncul dari kesadaran akan keagungan dan kuasa ilahi ini. Kata "takut" di sini tidak selalu berarti teror yang melumpuhkan, melainkan lebih kepada rasa hormat yang mendalam, kekaguman, dan kesadaran akan kesucian serta kebesaran Allah yang melampaui pemahaman manusia. Ketika kita benar-benar memahami siapa Allah itu, kita akan secara alami merasa kecil di hadapan-Nya dan menyadari betapa bergantungnya kita pada kehendak-Nya. Rasa takut ini mendorong kerendahan hati, ketaatan, dan keinginan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, karena menyadari bahwa setiap tindakan kita berada dalam pengawasan-Nya.
Pengakuan atas kekuasaan Allah yang mutlak ini juga menyiratkan keadilan-Nya yang tak terbantahkan. Jika Allah berkuasa penuh, maka Dia juga yang bertanggung jawab atas tatanan dunia, termasuk soal kebaikan dan kejahatan, keadilan dan ketidakadilan. Meskipun terkadang manusia bergumul dengan pertanyaan mengapa orang benar menderita dan orang jahat makmur, keyakinan mendasar dalam tradisi kitab suci adalah bahwa Allah adalah hakim yang adil. Kekuasaan-Nya bukan kekuasaan tirani, melainkan kekuasaan yang berlandaskan kebijaksanaan dan kebenaran ilahi yang sempurna. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mencoba menentang atau meremehkan Allah, melainkan untuk menyerahkan diri pada pengaturannya yang mahatahu dan mahakuasa. Dalam pengakuan akan keagungan-Nya, kita menemukan kedamaian sejati dan arah dalam hidup. Memahami bahwa Allah memerintah adalah fondasi untuk menjalani kehidupan yang beriman dan penuh pengharapan.
Penting untuk merenungkan makna dari ayat ini dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah gejolak dunia dan tantangan pribadi, mengingatkan diri bahwa ada Penguasa yang Mahakuasa dapat memberikan kekuatan dan ketenangan. Keputusan-keputusan-Nya, meskipun terkadang sulit dipahami, selalu bertujuan untuk kebaikan yang lebih besar, sesuai dengan rencana-Nya yang sempurna. Oleh karena itu, marilah kita sambut kekuasaan-Nya dengan hati yang terbuka dan penuh rasa hormat, menyerahkan diri pada tuntunan-Nya.