"Tetapi di manakah hikmat dapat ditemukan? Dan di manakah tempat pengertian? Manusia tidak mengetahui nilainya, dan itu tidak dapat ditemukan di negeri orang yang hidup."
Kitab Ayub, sebuah kitab yang kaya akan perdebatan filosofis dan teologis, membawa kita pada sebuah renungan mendalam tentang keberadaan dan makna kehidupan. Dalam pasal 28, Ayub dan teman-temannya bergulat dengan pertanyaan tentang sumber kebenaran, keadilan, dan khususnya, hikmat. Ayat ke-12 secara tegas menyatakan kesulitan yang luar biasa dalam menemukan hakikat hikmat. Kata-kata ini bukanlah sekadar pengakuan keterbatasan manusia, melainkan sebuah pengingat akan sifat ilahi dari pengetahuan sejati.
Ayub, yang telah mengalami penderitaan yang tak terbayangkan, menyadari bahwa harta benda, kekayaan, dan kekuatan duniawi tidak dapat membeli atau bahkan mendekati nilai hikmat. Pencarian manusia untuk hikmat sering kali diarahkan pada hal-hal yang dapat dilihat dan diukur: tambang mineral yang berharga, kedalaman laut, atau bahkan rahasia alam semesta. Namun, Ayub menegaskan bahwa bahkan pencarian paling gigih sekalipun di tempat-tempat yang paling sulit dijangkau—"negeri orang yang hidup"—tidak akan pernah menghasilkan penemuan hikmat sejati.
Ini adalah tantangan bagi kita di era modern ini. Kita memiliki akses informasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun apakah kita benar-benar telah menemukan hikmat? Hikmat bukanlah sekadar akumulasi data atau kecerdasan analitis. Hikmat melibatkan pemahaman mendalam tentang kebenaran, kebaikan, dan cara hidup yang benar. Ia membutuhkan perspektif yang lebih luas, kemampuan untuk melihat gambaran besar, dan kesadaran akan keterbatasan diri sendiri di hadapan misteri ilahi.
Fakta bahwa hikmat tidak ditemukan di negeri orang yang hidup menyiratkan bahwa sumbernya bukanlah sekadar pengalaman manusiawi atau akal budi belaka. Hal ini mengarahkan kita pada pemahaman bahwa hikmat sejati berasal dari sumber yang melampaui dunia fisik dan pemahaman manusia. Ini adalah undangan untuk mencari lebih tinggi, untuk membuka hati dan pikiran terhadap kebenaran yang diwahyukan, dan untuk mengakui bahwa pengetahuan tertinggi adalah anugerah yang diberikan, bukan sesuatu yang dapat direbut atau dibeli.
Pergumulan Ayub mengingatkan kita bahwa pencarian hikmat adalah perjalanan seumur hidup. Ia menuntut kerendahan hati, kesabaran, dan keterbukaan untuk menerima apa yang mungkin tidak dapat kita pahami sepenuhnya dengan logika kita. Dengan merenungkan ayat ini, kita diingatkan untuk menggeser fokus kita dari pencarian kekayaan materi atau pencapaian duniawi semata, menuju pencarian pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita, dunia, dan Sang Pencipta yang memiliki semua hikmat.