Simbol visual yang mewakili pencarian dan sumber kebijaksanaan.
Pertanyaan yang diajukan dalam Ayub 28:14 ini adalah pertanyaan yang mendasar bagi setiap manusia yang merenungkan arti kehidupan dan dunia di sekitarnya. Dalam keseluruhan kitab Ayub, kita melihat Ayub bergumul dengan penderitaannya, mencari jawaban atas mengapa semua ini terjadi padanya. Namun, dalam pasal 28, fokus beralih dari penderitaan pribadi ke pencarian yang lebih luas dan universal: pencarian akan kebijaksanaan.
Ayub menggambarkan bagaimana manusia dengan segala kecerdasan dan kemampuan teknologinya telah mampu menggali bumi, mencari harta karun tersembunyi, dan bahkan menjinakkan unsur-unsur alam yang paling sulit dikendalikan. Mereka turun ke tambang yang dalam, menambang emas, perak, dan permata yang berharga. Mereka menemukan bijih besi dan melebur tembaga dari batu. Mereka begitu gigih dalam pencarian materi yang terlihat, yang dapat diukur dan dimiliki.
Namun, meskipun semua upaya dan kemajuan luar biasa ini, Ayub menyadari bahwa kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang bisa ditambang seperti emas atau ditemukan di dasar laut. Ia mengajukan pertanyaan retoris ini untuk menekankan betapa sulitnya menemukan kebijaksanaan sejati. Manusia dapat menaklukkan bumi, tetapi mereka tidak dapat menemukan kebijaksanaan hanya dengan menggali atau meneliti materi fisik. Kebijaksanaan berasal dari sumber yang berbeda, tempatnya tidak dapat ditunjukkan oleh peta atau diukur dengan alat terkuat.
Kata "pengertian" (atau "akal budi") dalam ayat ini merujuk pada kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan membuat keputusan yang bijaksana. Ini bukan hanya tentang pengetahuan mentah, tetapi tentang bagaimana pengetahuan itu diolah dan diterapkan. Ayub menegaskan bahwa bahkan para ahli dan orang paling cerdas sekalipun tidak dapat menemukan tempat kediaman pengertian hanya dengan mengandalkan kekuatan manusiawi mereka.
Ayat ini menjadi pengingat yang kuat bahwa ada dimensi realitas yang melampaui apa yang dapat dicapai oleh kecerdasan manusia semata. Sumber kebijaksanaan sejati adalah Ilahi. Dalam konteks Kitab Ayub, ini mengarah pada kesadaran bahwa hanya Tuhan yang memiliki hikmat tertinggi dan tak terbatas. Dia adalah sumber segala pengetahuan dan pengertian. Manusia dapat mencari dan merenungkan, tetapi penerimaan kebijaksanaan sejati datang melalui hubungan dengan Sang Pencipta.
Pesan ini relevan hingga kini. Di era informasi yang melimpah, kita memiliki akses ke lebih banyak pengetahuan daripada generasi sebelumnya. Namun, apakah kita memiliki lebih banyak kebijaksanaan? Seringkali, meskipun kita memiliki banyak informasi, kita masih bergumul dengan keputusan sulit, konflik, dan ketidakmampuan untuk melihat gambaran yang lebih besar. Inilah mengapa pertanyaan Ayub tetap bergema: Di manakah kebijaksanaan dan pengertian ditemukan?
Menyadari bahwa kebijaksanaan berasal dari Tuhan seharusnya memotivasi kita untuk mencari-Nya. Ini berarti berdoa, membaca kitab suci, merenungkan firman-Nya, dan berusaha hidup sesuai dengan prinsip-prinsip-Nya. Kebijaksanaan sejati bukanlah hasil dari kecerdasan akademis semata, melainkan karunia dari Tuhan yang diberikan kepada mereka yang mencari-Nya dengan rendah hati. Ketika kita memfokuskan pencarian kita pada sumber yang benar, kita akan menemukan bahwa kebijaksanaan tidak hanya memberikan pemahaman, tetapi juga memberikan arah, kedamaian, dan kemampuan untuk menavigasi kompleksitas kehidupan dengan lebih baik.