Ayub 34 & 35: Keadilan dan Kebenaran Illahi

"Sesungguhnya, TUHAN menegakkan keadilan bagi yang tertindas, Ia memberi makan orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terbelenggu." (Ayub 36:7)

Keadilan & Kebenaran Illahi

Kitab Ayub adalah sebuah perjalanan mendalam ke dalam misteri penderitaan dan keadilan ilahi. Dalam pasal 34 dan 35, kita disuguhkan oleh perdebatan sengit antara Ayub dan teman-temannya, khususnya Elihu, yang mencoba memberikan perspektif baru terhadap situasi Ayub. Pasal-pasal ini secara khusus menyoroti sifat keadilan dan kebenaran Tuhan yang sempurna, serta bagaimana hal itu berhubungan dengan pengalaman manusia. Elihu, seorang tokoh yang lebih muda, tampil dengan argumen yang lebih bernuansa, menekankan bahwa Tuhan tidak pernah tidak adil. Ia berargumen bahwa penderitaan Ayub mungkin merupakan cara Tuhan untuk mengajar dan memurnikannya, bukan sebagai hukuman atas dosa yang tidak diakuinya.

Dalam Ayub 34, Elihu mengemukakan bahwa Tuhan adalah hakim yang adil. Ia menegaskan bahwa Tuhan tidak memandang bulu dan tidak dapat disuap. Setiap tindakan, baik besar maupun kecil, akan diperhitungkan. Elihu mengingatkan Ayub bahwa ia tidak berhak menantang atau mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan. Pertanyaan Ayub tentang mengapa orang benar menderita sementara orang jahat berkembang pesat, menurut Elihu, adalah kesalahpahaman terhadap rencana Tuhan yang lebih besar. Tuhan melihat lebih jauh dari apa yang dapat dilihat manusia, dan kadang-kadang keadilan-Nya terwujud dalam cara yang tidak dapat kita pahami sepenuhnya pada saat itu. Pernyataan seperti "Sesungguhnya, Tuhan tidak berbuat jahat dan Yang Mahakuasa tidak memutarbalikkan keadilan" (Ayub 34:12) menjadi sentral dalam argumennya.

Melanjutkan argumennya dalam Ayub 35, Elihu membahas tentang kebenaran dan kesia-siaan keluhan Ayub. Ia berpendapat bahwa tindakan atau doa manusia tidak memengaruhi Tuhan secara langsung dalam arti mengubah sifat-Nya. Tuhan sudah sempurna dan tidak memerlukan apa pun dari ciptaan-Nya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak peduli. Sebaliknya, Elihu menekankan bahwa Tuhan justru mendengarkan jeritan orang tertindas. Penderitaan Ayub seharusnya mendorongnya untuk mencari Tuhan dan mengakui ketergantungannya, bukan untuk mengeluh tentang ketidakadilan. Elihu menyarankan bahwa Tuhan memperhatikan kesalahan dan kesombongan, dan memberikan kesempatan untuk pertobatan agar keadilan-Nya dapat berlaku dan memulihkan orang yang rendah hati.

Kedua pasal ini secara kolektif mengingatkan kita akan keagungan dan kemahatahuan Tuhan. Meskipun kita mungkin bergumul dengan penderitaan dan merasa seolah-olah keadilan tidak ditegakkan, Kitab Ayub, melalui suara Elihu, mengajak kita untuk menaruh kepercayaan pada kebenaran dan kebijaksanaan Tuhan yang kekal. Ayub 34 dan 35 mengajarkan bahwa Tuhan adalah sumber keadilan yang mutlak. Ia tidak hanya menghukum kejahatan, tetapi juga merangkul dan meninggikan mereka yang mencari kebenaran dan berserah kepada-Nya. Pengalaman Ayub, meskipun menyakitkan, akhirnya menjadi sebuah proses pemurnian yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang karakter Tuhan.

Inti dari ajaran dalam Ayub 34 dan 35 adalah pentingnya refleksi diri, kerendahan hati, dan keyakinan pada keadilan Tuhan yang tak tergoyahkan. Ketika menghadapi masa-masa sulit, kita diingatkan untuk tidak terburu-buru menghakimi atau menuntut penjelasan dari Tuhan, melainkan untuk mencari Dia dalam doa dan merenungkan kebenaran-Nya. Keadilan dan kebenaran-Nya akan selalu ditegakkan pada waktu-Nya yang tepat.