"Maka bangkitlah Korah bin Yishar, dari bani Kehat, dari bani Lewi, bersama-sama Datan dan Abiram, anak-anak Eliab, dan On bin Peleth, keturunan Ruben."
Kisah pemberontakan Korah yang tercatat dalam kitab Bilangan pasal 16 merupakan salah satu narasi paling dramatis dalam Alkitab. Peristiwa ini menyoroti konsekuensi serius dari ketidakpuasan, kesombongan, dan penolakan terhadap otoritas yang ditetapkan. Namun, di balik gambaran yang kelam tersebut, terdapat pelajaran berharga mengenai pentingnya kesatuan dan ketaatan, terutama ketika dihubungkan dengan konsep bilangan 16 dan 12.
Dalam konteks Kitab Bilangan, angka 16 seringkali diasosiasikan dengan momen-momen penting, baik positif maupun negatif. Pemberontakan Korah, Datan, dan Abiram melibatkan 250 orang pemimpin Israel yang menentang kepemimpinan Musa dan Harun. Mereka mempertanyakan hak Musa untuk memimpin dan posisi Harun sebagai imam besar. Ketidakpuasan ini berujung pada murka ilahi yang dahsyat, di mana tanah terbelah dan menelan para pemberontak beserta keluarga mereka. Kejadian ini menjadi peringatan keras bagi seluruh umat Israel mengenai bahaya perselisihan dan sikap menentang kehendak Tuhan yang dinyatakan melalui para pemimpin yang diutus-Nya.
Pemberontakan ini bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi lebih dalam lagi, sebuah penolakan terhadap tatanan ilahi. Korah, seorang Lewi, merasa berhak atas posisi yang lebih tinggi, sementara Datan dan Abiram, dari suku Ruben, merasa diperlakukan tidak adil. Perbedaan latar belakang mereka menunjukkan bahwa isu perselisihan dapat muncul dari berbagai sumber, baik dari dalam kalangan yang seharusnya melayani (Lewi) maupun dari mereka yang memiliki hak kesulungan (Ruben). Ketidakmampuan mereka untuk melihat rencana Tuhan dan menerima peran masing-masing inilah yang menjadi akar masalah.
Jika 16 dapat diasosiasikan dengan dampak dari ketidaktaatan, maka angka 12 dalam Kitab Bilangan seringkali melambangkan kesempurnaan, kelengkapan, dan tatanan ilahi. Kita melihat ini pada 12 suku Israel, 12 batu yang diambil Yosua dari Sungai Yordan, dan 12 buah-buahan dari pohon kehidupan dalam Kitab Wahyu. Angka 12 merepresentasikan sebuah kesatuan yang utuh dan harmonis, sebuah gambaran dari keteraturan yang dikehendaki Tuhan.
Dalam konteks spiritual, kesatuan 12 suku Israel seharusnya menjadi fondasi bagi ketaatan dan pelayanan yang benar kepada Tuhan. Namun, pemberontakan Korah menunjukkan keretakan dalam kesatuan tersebut. Mereka yang seharusnya bersatu padu sebagai umat pilihan, justru terpecah belah oleh ambisi pribadi dan kesalahpahaman terhadap kehendak Tuhan. Peristiwa ini menjadi kontras tajam dengan idealisme kesempurnaan yang dilambangkan oleh bilangan 12.
Kisah ini memberikan pelajaran yang sangat relevan bagi kehidupan kita saat ini. Di tengah masyarakat yang semakin kompleks, pemahaman tentang pentingnya kesatuan dan ketaatan menjadi krusial. Sebagaimana umat Israel, kita seringkali dihadapkan pada situasi yang menguji kemampuan kita untuk bekerja sama dan menghormati otoritas yang sah, baik dalam keluarga, gereja, maupun lingkungan kerja. Pengalaman Korah mengajarkan bahwa ketidakpuasan yang tidak disalurkan dengan benar dan sikap menentang tanpa dasar yang kuat dapat membawa kehancuran.
Di sisi lain, makna bilangan 12 mengingatkan kita akan tujuan akhir yaitu kesatuan yang sempurna dalam Kristus. Ketika kita melepaskan ego dan menempatkan ketaatan kepada Tuhan di atas segalanya, kita menjadi bagian dari kesatuan yang lebih besar, sebuah tubuh Kristus yang harmonis. Mengintegrasikan pelajaran dari kedua bilangan ini – menghindari bahaya perselisihan yang dicontohkan oleh 16, sembari merindukan kesempurnaan dan kesatuan yang dilambangkan oleh 12 – adalah kunci untuk bertumbuh dalam iman dan menjadi berkat.
Penting bagi kita untuk terus belajar dari sejarah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semangat kesatuan dan kerendahan hati untuk taat, kita dapat menghindari kesalahan masa lalu dan membangun komunitas yang kokoh, mencerminkan keharmonisan yang Tuhan inginkan.