Kitab Bilangan, sebagai salah satu kitab dalam Perjanjian Lama, penuh dengan narasi yang menggambarkan perjalanan umat Israel di padang gurun setelah keluar dari Mesir. Di antara berbagai peristiwa yang tercatat, dua kisah menonjol karena implikasi teologis dan moralnya yang mendalam: pemberontakan Korah, Datan, dan Abiram (Bilangan 16) serta peristiwa ular tembaga (Bilangan 21). Kedua peristiwa ini, meskipun berbeda dalam konteksnya, sama-sama memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya ketaatan kepada Tuhan dan konsekuensi dari ketidakpercayaan serta pemberontakan.
Pasal 16 dari Kitab Bilangan mengisahkan pemberontakan yang dipimpin oleh Korah, seorang Lewi, bersama dengan Datan dan Abiram dari suku Ruben, serta 250 orang pemimpin Israel. Motif pemberontakan ini beragam, mulai dari rasa iri hati terhadap otoritas Musa dan Harun, hingga keinginan untuk merebut jabatan imam yang hanya diperuntukkan bagi keturunan Harun. Mereka menuduh Musa dan Harun mengangkat diri mereka sendiri di atas jemaat Tuhan. Tanggapan Tuhan terhadap pemberontakan ini sangat tegas dan mengerikan. Tanah terbelah dan menelan hidup-hidup para pemberontak, sementara api dari Tuhan menghanguskan 250 orang yang mempersembahkan ukupan.
Kisah ini menekankan pentingnya otoritas yang Tuhan tetapkan. Pemberontakan terhadap Musa dan Harun pada dasarnya adalah pemberontakan terhadap Tuhan sendiri, karena mereka diangkat dan diberi kuasa oleh-Nya. Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah pentingnya menghargai pemimpin yang Tuhan tempatkan, bukan karena kesempurnaan mereka, tetapi karena posisi yang mereka emban berdasarkan panggilan Ilahi. Ini juga mengingatkan kita bahwa ketidakpuasan dan iri hati bisa berujung pada kehancuran jika tidak dikendalikan dan diserahkan kepada Tuhan.
Beranjak ke pasal 21, kita menemukan kisah yang berbeda namun tetap berfokus pada respons Tuhan terhadap umat-Nya. Setelah berulang kali mengeluh dan memberontak, Tuhan mengirimkan ular-ular berbisa ke tengah jemaat, dan banyak orang Israel mati tergigit. Dalam keputusasaan mereka, umat Israel akhirnya mengakui dosa mereka dan memohon kepada Musa untuk berdoa memohon pengampunan dari Tuhan. Sebagai jawaban atas doa Musa, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat ular tembaga dan menaruhnya di atas tiang. Siapapun yang dipagut ular, jika memandang ular tembaga itu, akan sembuh.
Peristiwa ini, meskipun terlihat sederhana, memiliki makna penebusan yang kuat. Ular, yang melambangkan dosa dan kematian, diangkat sebagai alat penyembuhan. Pandangan iman kepada ular tembaga menjadi sarana bagi kehidupan. Para ahli teologi sering melihat ini sebagai gambaran nubuat tentang salib Kristus, di mana Dia yang tidak berdosa dijadikan dosa demi keselamatan umat manusia. Siapapun yang memandang kepada-Nya dalam iman akan menerima kehidupan kekal. Kisah ini mengajarkan tentang sifat belas kasihan Tuhan yang selalu ada bahkan di tengah hukuman, serta pentingnya kerendahan hati dan iman untuk menerima solusi yang disediakan-Nya.
Bilangan 16 dan 21 memberikan dua sisi mata uang yang sama: konsekuensi dari dosa dan anugerah penebusan Tuhan. Pemberontakan Korah menunjukkan betapa seriusnya Tuhan memandang ketidaktaatan dan pemberontakan terhadap tatanan-Nya. Sementara itu, peristiwa ular tembaga menunjukkan betapa dalam belas kasihan-Nya dan bagaimana Dia menyediakan jalan keluar bahkan dari situasi yang paling mengerikan. Kedua kisah ini mengajarkan umat beriman untuk senantiasa hidup dalam ketaatan, menghargai otoritas yang ada, dan selalu berpaling kepada Tuhan dalam kerendahan hati ketika menghadapi kesulitan atau mengakui kesalahan. Dalam dunia yang seringkali dipenuhi dengan konflik dan ketidakpastian, pelajaran dari bilangan 16 dan 21 tetap relevan, mengingatkan kita akan pentingnya iman, ketaatan, dan harapan yang bersumber dari Tuhan.
Dengan merenungkan kedua kisah ini, kita dapat memperdalam pemahaman kita tentang karakter Tuhan—keadilan-Nya yang tegas terhadap dosa, dan kasih-Nya yang tak terbatas dalam menyediakan jalan keselamatan. Ini adalah pelajaran yang terus bergema sepanjang sejarah manusia.