Kitab Hakim, khususnya pasal 1 ayat 1 hingga 18, mengawali sebuah periode krusial dalam sejarah bangsa Israel setelah kematian Yosua. Periode ini ditandai dengan pertanyaan mendasar kepada Tuhan mengenai siapa yang akan memimpin perjuangan melawan penduduk asli Kanaan. Jawaban Tuhan yang tegas menunjuk kepada suku Yehuda, yang diberi mandat untuk memimpin penaklukan dan mengamankan tanah warisan mereka. Ayat-ayat ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga cerminan tentang bagaimana Tuhan bekerja melalui umat-Nya, bahkan ketika kepemimpinan manusia mengalami kekosongan.
Kita melihat bagaimana suku Yehuda tidak hanya menunggu, tetapi berinisiatif untuk bergerak. Kerjasama dengan suku Simeon, saudara mereka, menunjukkan pentingnya persatuan dan dukungan dalam menghadapi tantangan. Keberhasilan mereka merebut kota Zefat dan menamainya Horma, yang berarti "terkutuk" atau "dibinasakan", menandakan penolakan total terhadap keberhalaan dan penyembahan Kanaan. Kemenangan ini menjadi bukti bahwa ketika umat Tuhan bertindak sesuai kehendak-Nya, kemenangan pasti menyertai.
Namun, kisah ini juga menunjukkan realitas yang kompleks. Tuhan menyertai Yehuda dalam merebut daerah pegunungan, tetapi tantangan muncul di dataran rendah. Keberadaan kereta-kereta besi milik orang Kanaan menjadi hambatan signifikan yang tidak dapat diatasi dengan kekuatan manusia semata. Ini mengajarkan kita bahwa dalam perjuangan hidup, selalu ada faktor-faktor yang berada di luar kendali kita, dan terkadang, penaklukan total tidak terjadi seketika. Ayat 19 dengan lugas menyatakan, "Tetapi orang Kanaan yang mendiami dataran tidak dapat dihalau, karena mereka mempunyai kereta-kereta besi." Ini bukan berarti kegagalan, melainkan pengingat akan keterbatasan dan pentingnya terus bersandar pada Tuhan.
Perjuangan Yehuda berlanjut dengan merebut kota Hebron, tempat yang memiliki nilai sejarah dan spiritual penting. Pengusiran tiga anak Enak menunjukkan pembersihan tanah dari pengaruh yang kuat dan jahat. Namun, ayat 21 menyoroti aspek yang sangat penting: kegagalan menghalau orang Yebus di Yerusalem. Yerusalem, yang kelak menjadi pusat spiritual bangsa Israel, tetap dihuni oleh penduduk asli. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengambilalihan tanah warisan adalah sebuah proses bertahap, bukan peristiwa tunggal yang instan. Adanya orang Yebus bersama orang Yehuda hingga "sampai hari ini" menggarisbawahi perlunya kewaspadaan spiritual dan perjuangan yang berkelanjutan melawan pengaruh asing yang dapat mengikis iman.
Lebih jauh lagi, Kitab Hakim 1:1-18 menceritakan kisah Otniel, yang merebut Kiryat-Sefer atas tantangan Kaleb, dan kemudian menikahi putrinya, Aksa. Permohonan Aksa kepada ayahnya untuk mendapatkan sumber air menunjukkan pentingnya pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan keluarga dalam konteks penaklukan tanah. Pemberian tanah dan sumber air oleh Kaleb merupakan tindakan yang berpihak pada kelangsungan hidup dan kemakmuran. Peristiwa ini menegaskan bahwa penaklukan bukanlah semata-mata tentang peperangan, tetapi juga tentang membangun kehidupan, mengamankan masa depan, dan menunaikan janji.
Secara keseluruhan, pasal ini memberikan gambaran yang seimbang mengenai kepemimpinan ilahi, keberanian manusia, tantangan yang dihadapi, dan perlunya perjuangan yang terus-menerus. "Hakim hakim 1 18" bukan hanya tentang penaklukan fisik, tetapi juga tentang pertumbuhan iman, pengujian kesetiaan, dan realitas bahwa pekerjaan Tuhan di dunia ini seringkali berjalan melalui proses yang bertahap, yang membutuhkan ketekunan dan kepercayaan yang tak tergoyahkan.