Kisah Yefta, salah satu hakim Israel yang dicatat dalam Kitab Hakim-hakim, penuh dengan pelajaran berharga tentang iman, kepemimpinan, dan konsekuensi dari perkataan. Ayat 30 dari pasal 11 ini menjadi titik krusial dalam ceritanya, mengungkap sebuah janji yang diucapkannya kepada Tuhan dalam momen genting.
Pada masa itu, Israel sedang tertindas oleh bangsa Amon, dan Yefta, seorang Gilead. Yefta dipanggil untuk memimpin peperangan melawan Amon. Menyadari beratnya tugas dan kekhawatiran akan kemenangan, Yefta mengangkat tangannya dan membuat ikrar kepada Tuhan. Ia berjanji bahwa jika Tuhan menganugerahkan kemenangan baginya dan bangsa Israel atas musuh mereka, maka ia akan mempersembahkan sebagai korban bakaran apa pun yang pertama kali keluar dari rumahnya untuk menyambutnya saat ia kembali dengan selamat.
Janji ini sering kali menimbulkan pertanyaan dan perdebatan teologis. Konteks sejarah dan budaya pada masa itu penting untuk dipahami. Persembahan korban bakaran merupakan bentuk pengabdian tertinggi kepada Tuhan, dan Yefta, dalam kerendahan hatinya, siap memberikan yang terbaik dari apa yang ia miliki. Namun, inti dari janji ini bukan semata-mata tentang pengorbanan fisik, melainkan tentang pengabdian total dan pengakuan akan kekuasaan Tuhan dalam segala aspek kehidupan.
Kemenangan pun diraih oleh Yefta dan bangsa Israel. Namun, saat Yefta kembali ke rumahnya di Mizpa, ia disambut oleh putrinya yang tunggal, menari-nari dengan rebana, sebagai wujud sukacita atas kepulangan ayahnya yang jaya. Inilah momen yang paling menyayat hati, di mana konsekuensi dari janji yang terucap harus dihadapi. Putrinya, sebagai satu-satunya pewaris, adalah orang pertama yang keluar menyongsongnya.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya berhati-hati dalam berbicara, terutama saat mengucapkan janji kepada Tuhan. Perkataan memiliki kekuatan, dan komitmen yang dibuat harus dipegang teguh. Yefta, meskipun dengan berat hati, menepati janjinya. Kisahnya bukan tentang kekejaman, melainkan tentang ketaatan yang ekstrem pada perkataan yang telah diikrarkan.
Dalam menghadapi tantangan hidup, kita sering kali mencari kekuatan dari Tuhan. Ayat Hakim-hakim 11:30 mengingatkan kita untuk tidak hanya meminta pertolongan, tetapi juga bersiap untuk memberikan apa pun yang diminta sebagai wujud syukur dan pengabdian. Ini adalah pengingat bahwa iman yang sejati sering kali memerlukan pengorbanan, dan bahwa perkataan kita kepada Tuhan memiliki bobot yang besar.
Kisah Yefta, dari permulaan yang sulit hingga kepemimpinannya yang berhasil dan janji yang mengorbankan, memberikan hikmah mendalam tentang iman, ketaatan, dan tanggung jawab. Ia menjadi simbol dari seseorang yang menghadapi konsekuensi dari tindakannya, sambil tetap teguh pada komitmen spiritualnya.
Baca lebih lanjut mengenai kisah Yefta di Alkitab SABDA.