Kitab Hakim-hakim dalam Perjanjian Lama menyimpan banyak kisah heroik dan pelajaran berharga. Salah satu kisah yang paling dramatis dan sering diperdebatkan adalah kisah Yefta. Ayat 34 dari pasal 11 ini memberikan gambaran sekilas tentang momen yang sangat emosional dan tragis dalam kehidupan Yefta.
Yefta adalah seorang Gilead yang gagah perkasa, namun ia dikeluarkan dari keluarganya karena ia adalah anak dari seorang perempuan sundal. Terusir dan diasingkan, Yefta menemukan tempatnya di Tanah Tob. Namun, ketika orang Amon bangkit memerangi Israel, para tua-tua Gilead, yang sebelumnya mengusirnya, justru datang memohon bantuannya untuk memimpin mereka dalam pertempuran. Situasi ini menunjukkan betapa gentingnya keadaan bangsa Israel pada masa itu, sampai mereka terpaksa meminta pertolongan dari orang yang pernah mereka rendahkan.
Dalam keputusasaannya untuk menyelamatkan bangsanya, Yefta membuat sebuah nazar kepada TUHAN. Ia berjanji, "Jika Engkau membiarkan orang Amon takluk di tanganku, maka apa pun yang keluar dari pintu rumahku untuk menyongsong aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari orang Amon, TUHAN punya orang itu, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran." Janji ini diucapkan dengan tulus, didorong oleh keinginan kuat untuk kemenangan dan pembebasan bangsanya.
TUHAN mendengar doa Yefta. Orang Amon dikalahkan dengan telak. Ketika Yefta kembali ke rumahnya di Mizpa dengan penuh kemenangan, ia disambut oleh pemandangan yang paling mengerikan yang bisa ia bayangkan. Bukan harta benda atau seorang hamba yang keluar menyambutnya, melainkan putri tunggalnya, yang keluar menari-nari dengan rebana, menyongsong ayahnya dengan sukacita.
Dalam ayat 34 yang menjadi fokus kita, kita melihat gambaran sukacita yang mendadak berubah menjadi kesedihan yang mendalam. "Lalu pulanglah Yefta ke Mizpa, ke rumahnya, dan lihatlah, anaknya perempuan keluar dengan menari-nari seperti kebiasaan orang Israel, menyongsong dia. Dialah anaknya yang tunggal, tidak ada baginya anak laki-laki atau perempuan yang lain." Sukacita sang putri dalam menyambut kepulangan ayahnya yang menang menjadi kontras yang sangat menyakitkan dengan realitas janji Yefta.
Kisah ini sering menimbulkan pertanyaan tentang keadilan ilahi dan makna janji Yefta. Apakah TUHAN menyetujui janji yang begitu kejam? Apakah Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya sebagai korban bakaran, atau ada interpretasi lain? Terlepas dari perdebatan teologis, kisah Yefta menekankan pentingnya berhati-hati dalam membuat nazar kepada Tuhan dan ketaatan yang radikal, meskipun konsekuensinya sangat berat.
Putri Yefta, meskipun menghadapi takdir yang mengerikan, menunjukkan keberanian dan penerimaan yang luar biasa. Ia tidak menentang ayahnya, melainkan meminta waktu dua bulan untuk menangisi keperawanannya di gunung bersama teman-temannya. Ini menunjukkan kedalaman pengorbanannya. Kisah ini menjadi pengingat abadi tentang konsekuensi janji yang dibuat di tengah kesulitan, dan betapa mulianya kesetiaan, bahkan di hadapan tragedi.
Simbol Ketaatan dan Pengorbanan
Kisah Yefta, sebagaimana tercatat dalam Hakim-hakim 11, tetap menjadi salah satu narasi paling kuat dan menggugah pikiran dalam Alkitab. Ayat 34 menjadi titik fokus emosional yang menyoroti momen ketika janji bertemu dengan kenyataan, menciptakan pelajaran abadi tentang iman, pengorbanan, dan konsekuensi.