"Jawab Yefta: "Aku membuka mulutku kepada TUHAN, dan aku tidak dapat menarik kembali perkataanku."
Ayat Hakim-hakim 11:36 merupakan puncak dari sebuah kisah dramatis dalam Perjanjian Lama. Yefta, seorang pemimpin yang gagah berani namun juga seorang hakim Israel, dihadapkan pada situasi genting. Bangsa Israel berperang melawan bani Amon. Dalam keputusasaannya untuk mendapatkan kemenangan, Yefta mengucapkan sebuah janji yang mengikat kepada TUHAN. Ia berjanji, "Apa pun yang keluar dari pintu rumahku untuk menyongsong aku, ketika aku pulang dengan selamat dari pertempuran melawan bani Amon, TUHAN yang akan menerimanya, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran."
Setelah berhasil meraih kemenangan gemilang atas bani Amon, Yefta pun kembali ke rumahnya di Mizpa. Ironisnya, orang pertama yang keluar dari rumahnya untuk menyambut kepulangan sang pahlawan adalah putri tunggalnya, yang ia kasihi, bersama dengan genderang dan tarian. Seketika Yefta merobek pakaiannya, hatinya diliputi kesedihan mendalam karena menyadari konsekuensi dari janji yang telah ia ucapkan. Ia harus menepati sumpahnya kepada Tuhan, yang berarti menyerahkan putri satu-satunya untuk dikorbankan.
Dalam momen yang paling menyayat hati ini, sang putri menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa. Ia tidak memberontak atau mengutuk ayahnya. Sebaliknya, ia menerima nasibnya. Ia hanya meminta waktu dua bulan untuk pergi ke gunung-gunung bersama teman-temannya untuk menangisi keperawanannya yang tidak akan pernah ia alami. Ayat 11:36 mencatat respons Yefta atas keinginan putrinya ini. Kata-kata "Aku membuka mulutku kepada TUHAN, dan aku tidak dapat menarik kembali perkataanku" menunjukkan penerimaan Yefta atas kehendak Tuhan, betapapun beratnya. Ini bukan berarti ia senang, melainkan ia sadar bahwa sumpahnya adalah ikatan spiritual yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Kejujuran dan integritas Yefta dalam menepati janji, meskipun menimbulkan penderitaan pribadi yang luar biasa, menjadi pelajaran penting tentang konsekuensi ucapan dan ketaatan mutlak kepada Tuhan.
Kisah Yefta, termasuk ayat 11:36, seringkali menjadi bahan perdebatan teologis. Namun, di balik kesedihan yang mendalam, terdapat pelajaran penting mengenai pentingnya berpikir sebelum berbicara, terutama ketika berhadapan dengan Tuhan. Janji harus diucapkan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Ketaatan Yefta yang teguh, meskipun kontroversial, menggambarkan kepercayaan pada kedaulatan Tuhan, bahkan dalam situasi yang paling menyakitkan. Kisah ini juga menyoroti sisi kemanusiaan Yefta yang merasakan kehilangan mendalam, namun tetap menjunjung tinggi firman yang telah diucapkannya.
Kisah hakim-hakim 11:36 bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah pengingat abadi tentang beratnya janji yang diucapkan dan konsekuensi yang menyertainya. Yefta, sang hakim yang terpilih, mengajarkan kepada kita tentang kekuatan integritas, kesetiaan pada perkataan, dan penerimaan atas rencana Tuhan, meskipun terkadang jalan tersebut terasa penuh kepedihan.