Kisah Yefta dalam Kitab Hakim-hakim merupakan salah satu narasi yang paling dramatis dan sarat makna dalam Perjanjian Lama. Ayat 11:8 ini menjadi titik krusial dalam percakapannya dengan para tua-tua Gilead, yang datang untuk memohon bantuannya memerangi bangsa Amon yang menindas mereka.
Pada saat itu, bangsa Israel kembali menyimpang dari jalan Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, mereka ditindas oleh bangsa Amon selama delapan belas tahun. Dalam keputusasaan, para tua-tua Gilead teringat akan Yefta, seorang tokoh gagah perkasa yang dulunya diusir oleh saudara-saudaranya sendiri karena alasan yang kurang jelas, namun kini hidup sebagai pemimpin perampok di tanah Tob. Panggilan untuk memimpin peperangan adalah ironis, karena Yefta adalah orang yang pernah ditolak oleh bangsanya sendiri.
Dalam dialog yang terekam dalam ayat 11:8, Yefta menunjukkan kejujurannya dan ketegasan pendiriannya. Ia tidak ragu untuk menanyakan kepada para tua-tua tentang statusnya di mata mereka. Pertanyaannya yang paling tajam adalah: "Kamukah yang membawa aku kembali ke rumah bapaku untuk berperang melawan bani Amon? Dan kalau TUHAN menyerahkan mereka kepadaku, bukankah aku yang akan menjadi tuanmu?"
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika kosong. Yefta menekankan bahwa ia bersedia memimpin perang ini bukan atas dasar cinta tanah air semata atau kesempatan pribadi untuk menjadi pahlawan. Ia ingin memastikan bahwa kepemimpinannya kali ini bukanlah sekadar "pinjaman" atau "kesempatan sementara." Ia ingin ada pengakuan yang jelas tentang statusnya, dan ia menghubungkannya langsung dengan campur tangan Tuhan. Jika Tuhan memberikan kemenangan, maka ia berhak atas kedudukan yang lebih tinggi, bahkan menjadi "tuan" bagi mereka.
Kemenangan seringkali membutuhkan keberanian untuk mengambil peran kepemimpinan.
Pernyataan Yefta mencerminkan sebuah pemahaman yang mendalam tentang peran Tuhan dalam peperangan dan kehidupan. Ia tidak mengandalkan kekuatannya sendiri semata, melainkan mengakui bahwa kemenangan sejati berasal dari Tuhan. Ia menempatkan syarat: jika Tuhan menyerahkan musuh ke dalam tangannya, maka pengakuan atas kepemimpinannya akan menjadi haknya.
Kisah Yefta mengingatkan kita akan pentingnya komitmen dan pengakuan yang tulus dalam setiap pelayanan. Ketika kita dipanggil untuk melakukan sesuatu, baik itu dalam skala besar maupun kecil, penting untuk memiliki kejelasan tentang peran kita dan mengharapkan berkat serta pengakuan dari Tuhan. Kemenangan yang diraih dengan iman, seperti yang ditunjukkan oleh Yefta, seringkali memiliki makna yang lebih dalam dan berjangka panjang.
Lebih dari itu, ayat ini juga menyoroti tema keadilan dan pengakuan. Yefta, yang diusir dan diremehkan, kini diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya dan memimpin. Kesediaan para tua-tua untuk mengakui dan menawarkannya posisi kepemimpinan, meskipun dalam situasi darurat, menunjukkan bahwa terkadang orang yang paling tidak terduga bisa menjadi solusi.
Dalam konteks iman, kisah Yefta mengajarkan kita bahwa keberanian, kejujuran, dan kepercayaan pada campur tangan ilahi adalah kunci untuk menghadapi tantangan hidup. Pertanyaannya kepada para tua-tua adalah refleksi dari kerinduannya akan keadilan dan pengakuan yang layak, bukan sekadar ambisi kekuasaan. Ia memposisikan dirinya sebagai alat Tuhan, dan menuntut pengakuan yang selaras dengan misi yang dipercayakan kepadanya oleh Yang Maha Kuasa.