"Beberapa waktu kemudian, pada musim gandum, Simson menjenguk isterinya dengan seekor kambing. Katanya: 'Aku mau masuk ke kamar isteriku.' Tetapi ayah mertuanya tidak mengizinkannya masuk."
Kisah hakim-hakim dalam Alkitab sering kali dipenuhi dengan narasi dramatis tentang kepemimpinan, perjuangan, dan intervensi ilahi. Salah satu tokoh yang paling ikonik dan penuh kontradiksi adalah Simson. Ayat pembuka dari pasal 15 kitab Hakim-hakim, yaitu Hakim-hakim 15:1, menandai dimulainya babak baru yang penuh gejolak dalam hidup Simson, berakar dari penolakan dan rasa sakit hati. Peristiwa ini terjadi pada "musim gandum," sebuah periode yang seharusnya melambangkan kelimpahan dan sukacita, namun justru menjadi latar belakang bagi adegan penuh ketegangan dan potensi konflik.
Simson, yang dipanggil oleh Allah sebagai hakim untuk membebaskan bangsa Israel dari penindasan bangsa Filistin, memiliki latar belakang yang kompleks. Kehidupannya ditandai oleh kekuatan fisik luar biasa yang dianugerahkan Tuhan, namun juga oleh kelemahan pribadi dan keputusan-keputusan yang sering kali impulsif. Pada titik ini, hubungan Simson dengan keluarganya sendiri, terutama dengan ayah mertuanya, tampaknya telah mengalami keretakan yang mendalam. Keinginannya yang sederhana untuk kembali kepada istrinya, yang sebelumnya telah diberikan kepada orang lain oleh ayahnya, ditolak mentah-mentah. Penolakan ini bukan sekadar masalah pribadi, melainkan memicu kembali api kemarahan dan dorongan untuk bertindak yang menjadi ciri khas Simson.
Penolakan ayah mertuanya untuk mengizinkan Simson masuk ke kamar istrinya adalah titik kritis. Dalam budaya pada masa itu, hal ini merupakan penghinaan besar dan indikasi kuat bahwa ayahnya telah mengkhianati kepercayaan Simson, bahkan mungkin telah "memberikan" istrinya kepada pria lain secara permanen. Rasa sakit karena pengkhianatan ini, ditambah dengan rasa malu dan kehilangan, mengobarkan kembali semangat Simson yang sebelumnya telah dirusak oleh peristiwa sebelumnya di Timna.
Ayat Hakim-hakim 15:1 secara singkat menggambarkan permulaan sebuah rangkaian peristiwa yang akan memiliki konsekuensi besar bagi bangsa Filistin. Reaksi Simson terhadap penolakan ini bukanlah tindakan pasif atau diplomatis. Sebaliknya, itu memicu apa yang kita kenal sebagai salah satu kisah paling berani dan destruktif yang dilakukan oleh Simson, yang akan dibahas lebih lanjut dalam pasal-pasal berikutnya. Kisah ini menunjukkan bagaimana frustrasi pribadi dan rasa diperlakukan tidak adil dapat berujung pada tindakan luar biasa, bahkan ketika dipicu oleh hal yang tampaknya merupakan urusan pribadi.
Kekuatan super Simson bukanlah sesuatu yang bisa ia kendalikan dengan mudah. Ketika amarahnya tersulut, kekuatan itu menjadi alatnya untuk membalas dendam dan membawa kehancuran bagi musuh-musuhnya. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa di balik sosok pahlawan Israel, terdapat manusia dengan emosi yang kuat, yang tindakannya sering kali didorong oleh perasaan pribadi, meskipun pada akhirnya digunakan untuk tujuan yang lebih besar oleh Tuhan. Ayat Hakim-hakim 15:1 adalah pintu gerbang menuju episode dramatis di mana Simson akan menunjukkan kepada bangsa Filistin betapa berbahayanya memancing kemarahan seorang yang dipilih oleh Tuhan.
Pembacaan ayat ini mengajak kita untuk merenungkan sifat kepemimpinan yang tidak sempurna, bagaimana masalah pribadi dapat memicu aksi publik, dan bagaimana Tuhan dapat menggunakan bahkan kelemahan dan amarah manusia untuk mencapai tujuan-Nya. Kisah Simson, yang dimulai dengan penolakan dalam Hakim-hakim 15:1, terus menjadi pengingat akan kompleksitas karakter manusia dan campur tangan ilahi yang tak terduga.