Kisah dari Kitab Hakim yang menceritakan periode kelam dan penuh kekacauan, namun juga menampilkan keteguhan iman dan keadilan ilahi.
Simbol timbangan yang mewakili keadilan di tengah kompleksitas cerita.
Bab 19 hingga 21 dalam Kitab Hakim menggambarkan masa-masa paling suram dalam sejarah Israel kuno. Periode ini ditandai dengan ketiadaan pemimpin yang kuat dan moralitas yang merosot tajam. Kisah yang diceritakan di sini adalah sebuah alegori yang mengerikan tentang apa yang terjadi ketika setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri, tanpa hukum atau otoritas ilahi yang ditaati. Fokus utama dari pasal-pasal ini adalah dua insiden yang mengerikan: perlakuan keji terhadap gundik seorang Lewi di Gibea, dan kemudian pembalasan brutal yang dilakukan oleh suku Israel terhadap suku Benyamin.
Kisah gundik Lewi dimulai dengan sebuah perjalanan yang tampaknya biasa saja. Sang Lewi dan gundiknya singgah di Gibea, sebuah kota yang dikuasai oleh suku Benyamin. Sayangnya, malam itu berubah menjadi mimpi buruk ketika sekelompok pria bejat dari kota itu meminta untuk "mengenal" gundik tersebut. Meskipun permohonan sang tuan rumah dan sang Lewi agar mereka tidak melakukan kejahatan itu, mereka akhirnya menyerahkan gundiknya kepada massa. Peristiwa tragis inilah yang menjadi pemicu kemarahan dan kesedihan yang meluas di seluruh Israel.
Setelah tragedi ini terungkap, seluruh Israel berkumpul di Mizpa untuk membahas masalah ini. Kesadaran akan kebiadaban yang terjadi di antara saudara sebangsa mereka menimbulkan kemarahan yang luar biasa. Diputuskan bahwa suku Benyamin harus dihukum karena kejahatan yang dilakukan oleh penduduk Gibea. Namun, suku Benyamin menolak untuk menyerahkan para pelaku, menunjukkan solidaritas yang salah arah dan ketidakpedulian terhadap keadilan.
Akibatnya, perang saudara pun pecah antara suku-suku Israel yang lain melawan suku Benyamin. Tiga kali pertempuran sengit terjadi, dan pada dua kesempatan pertama, suku-suku Israel mengalami kekalahan yang menyakitkan. Ini menunjukkan betapa kuatnya perlawanan suku Benyamin, atau mungkin kelemahan dan strategi yang buruk dari pihak penyerang. Namun, dalam pertempuran terakhir, dengan taktik yang lebih cerdas dan pertolongan ilahi, suku Benyamin akhirnya dikalahkan.
Bab-bab ini adalah potret yang menyakitkan dari masyarakat yang telah kehilangan arah moralnya. Kejahatan yang terjadi di Gibea adalah cerminan dari perpecahan dan kegelapan spiritual yang melanda bangsa Israel pada masa itu. Pembalasan yang dilakukan, meskipun dijustifikasi oleh kejahatan awal, juga menunjukkan betapa mudahnya kekerasan berlanjut dan meluas. Hilangnya hampir seluruh suku Benyamin, yang kemudian diatasi dengan cara-cara yang tidak lazim untuk memastikan kelangsungan suku itu, adalah pengingat akan konsekuensi mengerikan dari tindakan-tindakan ekstrem.
Kisah Hakim 19-21 adalah pengingat yang kuat akan pentingnya keadilan, moralitas, dan kepemimpinan yang bijaksana. Ini juga menyoroti kebutuhan akan otoritas yang efektif untuk mencegah anarki dan kekejaman. Meskipun cerita ini gelap, ia juga menampilkan bagaimana Tuhan, pada akhirnya, bekerja untuk memulihkan dan menjaga umat-Nya, bahkan melalui cara-cara yang sulit dipahami. Kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang bahaya kesombongan, ketidakadilan, dan dampak buruk dari perpecahan dalam masyarakat.