Maka ia berkata kepadanya: "Marilah kita kembali." Tetapi orang perempuan itu tidak mau. Ia berkata: "Janganlah engkau melakukan kejahatan yang lebih besar dari pada yang telah engkau lakukan kepadaku ini, dengan menyuruh aku pergi." Tetapi orang itu tidak mau membiarkannya pergi, dan karena ia memaksanya, lalu ia menyerah kepada orang itu, dan orang itu memperlakukannya seperti orang-orang yang berhubungan badan sepanjang malam itu sampai pagi, lalu ia membiarkannya pergi tatkala fajar menyingsing.
Ayat Hakim-hakim 19:28 menceritakan sebuah peristiwa yang mengerikan dan menyayat hati dalam Kitab Hakim-hakim. Kisah ini bukan sekadar rangkaian kejadian, melainkan sebuah gambaran kelam tentang kebobrokan moral dan kejahatan yang merajalela di kalangan umat Israel pada masa itu. Ketika tidak ada raja di Israel, setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri, dan ini seringkali berujung pada ketidakadilan dan kekejaman. Peristiwa yang dialami oleh perempuan Lewi, istri seorang Lewi yang setia, adalah bukti nyata dari kondisi sosial yang rusak parah. Ia menjadi korban dari perbuatan biadab dan ketidakmanusiawian yang tak terbayangkan.
Kejadian ini berakar pada kesalahan penundaan perjalanan yang disebabkan oleh sang suami Lewi. Mereka singgah di Gibea, sebuah kota suku Benyamin, saat matahari terbenam. Alih-alih disambut dengan keramahan, mereka malah menjadi sasaran kebiadaban para penduduk Gibea yang jahat. Walaupun sudah ada seorang tua yang baik hati menawarkan penginapan dan perlindungan, niat buruk para penduduk kota itu tidak terbendung. Istri Lewi tersebut akhirnya menjadi korban kekerasan seksual yang mengerikan. Permohonan dan penolakannya yang kuat dalam ayat ini menunjukkan kesadaran dan perlawanan terakhirnya terhadap tindakan keji yang hendak menimpanya. Namun, ia tak berdaya menghadapi kekuatan yang lebih besar.
Konteks ayat ini, yaitu Hakim-hakim 19:28, adalah penting untuk memahami kedalaman tragedi ini. Peristiwa ini tidak hanya berdampak pada korban dan keluarganya, tetapi juga memicu kemarahan seluruh suku Israel terhadap suku Benyamin. Kejahatan di Gibea itu akhirnya menjadi penyebab perang saudara yang hampir memusnahkan suku Benyamin. Ini menunjukkan bagaimana tindakan keji dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat luas dan destruktif. Peristiwa ini menjadi pengingat yang keras tentang pentingnya menegakkan keadilan dan moralitas di tengah masyarakat. Ketidakpedulian terhadap kejahatan atau pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia akan selalu membawa kehancuran.
Kisah ini menyoroti peran crucial para hakim (pemimpin) pada masa itu yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan moralitas bangsa. Namun, dalam periode ini, banyak dari mereka gagal menjalankan tugasnya dengan baik, menciptakan kekacauan dan ketidakpastian. Kehancuran yang terjadi di Gibea, dan dampaknya yang menyertainya, menjadi pelajaran pahit tentang apa yang terjadi ketika kejahatan dibiarkan merajalela dan ketika prinsip-prinsip dasar kemanusiaan diabaikan. Kisah ini, meskipun kelam, tetap relevan sebagai peringatan abadi tentang perlunya menjaga harkat dan martabat setiap individu, serta pentingnya menghadirkan keadilan yang sejati dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam membaca ayat ini, kita diajak untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar. Kengerian yang dialami oleh perempuan Lewi adalah sebuah pengingat kuat akan pentingnya menghormati sesama, melawan segala bentuk kekerasan, dan memperjuangkan keadilan. Cerita ini menjadi cerminan bagaimana kegelapan dapat menyelimuti masyarakat ketika nilai-nilai luhur tergerus. Kisah Hakim-hakim 19:28 ini, walau menyakitkan, mengajarkan kita tentang konsekuensi dari tindakan jahat dan pentingnya bertindak sebagai agen kebaikan dan keadilan di dunia ini.