Keadilan Hakim: Kaca 21 Ayat 18 Terungkap

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil."

Simbol Keadilan

Dalam setiap tatanan masyarakat, peran hakim memegang teguh pondasi keadilan dan ketertiban. Profesi mulia ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah amanah besar yang menuntut integritas, kebijaksanaan, dan komitmen terhadap kebenaran. Ketika kita merenungkan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 135, yang kemudian diterjemahkan ke dalam konteks modern sebagai prinsip yang mendasari tugas hakim, makna 'hakim 21 18' menjadi semakin relevan. Ayat ini secara gamblang menggarisbawahi dua aspek krusial dalam menjalankan fungsi peradilan: menyampaikan amanat kepada yang berhak dan menetapkan hukum dengan adil.

Aspek pertama, menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, mengacu pada prinsip distribusi keadilan yang imparsial. Dalam konteks peradilan, ini berarti memastikan bahwa hak-hak setiap individu dilindungi dan dihormati, dan bahwa setiap orang diperlakukan setara di hadapan hukum, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau latar belakang lainnya. Hakim bertugas untuk menjaga keseimbangan ini, memastikan tidak ada yang dirampas haknya secara tidak adil, dan setiap tuntutan yang sah mendapatkan respons yang semestinya. Ini adalah fondasi dari kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Tanpa amanat yang tersampaikan dengan benar, fondasi tersebut akan goyah.

Lebih jauh, konsep "amanat" juga menyentuh aspek penegakan hukum itu sendiri. Hukum adalah sebuah amanat yang diberikan oleh masyarakat kepada negara, dan negara melalui hakimnya bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Hakim adalah penjaga amanat ini, memastikan bahwa hukum tidak disalahgunakan atau diabaikan. Mereka harus senantiasa berpegang teguh pada peraturan yang berlaku, menginterpretasikannya dengan bijak, dan menerapkannya tanpa pilih kasih. Setiap keputusan yang diambil haruslah mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang amanat hukum yang dipercayakan kepada mereka.

Aspek kedua, menetapkan hukum dengan adil, adalah inti dari tugas seorang hakim. Keadilan adalah cita-cita tertinggi dalam setiap sistem peradilan. Hakim haruslah menjadi representasi dari keadilan itu sendiri, seorang yang mampu melihat setiap perkara dengan obyektivitas, menimbang bukti-bukti secara seksama, dan membuat keputusan yang tidak hanya sesuai dengan hukum, tetapi juga adil dari sudut pandang moral dan kemanusiaan. Prinsip 'adil' ini menuntut hakim untuk bebas dari segala bentuk prasangka, keberpihakan, atau pengaruh eksternal. Mereka harus menjadi suara kebenaran yang tegas, namun tetap berhati nurani.

Kata "hakim 21 18" dalam pencarian informasi mungkin merujuk pada penekanan terhadap dua pilar fundamental ini: keadilan substantif (apa yang benar dan pantas) dan keadilan prosedural (bagaimana proses itu dijalankan). Keduanya saling melengkapi. Tanpa keadilan substantif, proses prosedural yang lancar pun tidak akan menghasilkan keadilan yang sesungguhnya. Sebaliknya, keadilan substantif tanpa prosedur yang adil dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan. Oleh karena itu, hakim yang ideal adalah mereka yang mampu mengintegrasikan kedua aspek ini dalam setiap tindakan dan putusannya.

Dalam era informasi digital yang serba cepat, menjaga integritas dan profesionalisme hakim menjadi semakin penting. Tantangan datang dalam berbagai bentuk, mulai dari tekanan publik hingga godaan korupsi. Namun, janji keadilan yang diamanatkan oleh firman Tuhan harus menjadi kompas moral yang tak tergoyahkan. Dengan senantiasa merujuk pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam surat An-Nisa, para hakim di seluruh dunia dapat terus berupaya mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil dan harmonis, di mana setiap individu merasa aman dan terlindungi di bawah naungan hukum yang ditegakkan dengan integritas dan keadilan.