Kitab Hakim merupakan salah satu bagian penting dalam Perjanjian Lama yang menceritakan periode pergulatan bangsa Israel setelah kematian Yosua. Periode ini ditandai dengan siklus pengkhianatan terhadap Tuhan, penindasan oleh bangsa asing, seruan mohon ampun, dan akhirnya pembebasan melalui para hakim. Dua pasal yang seringkali menarik perhatian dalam konteks ini adalah pasal 21 dan 23, yang menyoroti tantangan moral dan sosial yang dihadapi bangsa Israel pada masa itu.
Pasal 21, khususnya, menggambarkan salah satu babak paling kelam dalam sejarah bangsa Israel. Pasal ini menceritakan tentang suku Benyamin yang hampir punah karena tindakan keji yang dilakukan sebagian anggotanya. Keputusan yang diambil oleh para pemimpin Israel untuk memastikan kelangsungan suku Benyamin melibatkan tindakan yang sangat tragis dan penuh kekerasan, seperti pembantaian penduduk Yabesh-Gilead dan perampasan perempuan dari Silo. Adegan ini jelas menunjukkan bagaimana krisis moral dan kekacauan dapat melahirkan keputusan-keputusan yang mengerikan, bahkan ketika didorong oleh niat untuk menjaga kesatuan bangsa.
Dalam kontras, meskipun pasal 23 tidak secara langsung berhubungan dengan kisah dramatis seperti pasal 21, ia tetap menawarkan wawasan berharga mengenai upaya pemulihan moral dan spiritual di bawah kepemimpinan Raja Yosia. Yosia, yang memerintah di kemudian hari, berusaha mengembalikan ibadah yang murni kepada Tuhan dan menghancurkan tempat-tempat penyembahan berhala yang telah merajalela. Tindakan Yosia ini mencerminkan keinginan untuk memulihkan keteraturan dan ketundukan pada hukum Tuhan setelah sekian lama hidup dalam penyimpangan. Ini adalah contoh bagaimana kepemimpinan yang kuat dan berorientasi pada kebenaran dapat membawa bangsa kembali ke jalan yang benar.
Meskipun pasal 21 dan 23 berasal dari periode yang berbeda dalam sejarah hakim dan raja-raja, keduanya memberikan pelajaran yang relevan. Pasal 21 secara gamblang menunjukkan konsekuensi mengerikan dari ketiadaan otoritas moral dan hukum yang kokoh. Ketika setiap individu berbuat sesuka hati, seperti yang disebutkan dalam ayat penutup Kitab Hakim, kekacauan sosial dan kejahatan bisa merajalela, bahkan di antara umat yang mengaku taat kepada Tuhan. Keadilan menjadi kabur dan nyawa manusia kehilangan nilai.
Sebaliknya, tindakan Raja Yosia dalam pasal 23 memberikan harapan. Ia menunjukkan bahwa pemulihan adalah mungkin melalui komitmen yang teguh pada prinsip-prinsip ilahi. Upayanya untuk membersihkan penyembahan berhala dan mengembalikan ibadah yang benar merupakan langkah krusial untuk mengembalikan bangsa ke dalam hubungan yang benar dengan Pencipta mereka. Ini adalah bukti bahwa keadilan sejati tidak hanya terletak pada penghukuman kesalahan, tetapi juga pada upaya aktif untuk memulihkan dan menjaga kebenaran.
Kisah-kisah dari Kitab Hakim, termasuk gambaran suram di pasal 21 dan upaya reformasi di pasal 23, mengingatkan kita akan pentingnya kepemimpinan yang adil, kepatuhan pada prinsip moral, dan konsekuensi dari tindakan kita. Perjuangan bangsa Israel pada masa itu adalah cerminan abadi dari tantangan yang dihadapi setiap masyarakat dalam berusaha mencapai keseimbangan antara kebebasan individu dan keteraturan sosial, serta dalam menjaga kesetiaan kepada nilai-nilai luhur yang menuntun pada kebaikan bersama. "Hakim hakim 21 23" bukan sekadar referensi ayat, melainkan sebuah undangan untuk merenungkan esensi keadilan dan dampak dari pilihan-pilihan kita.