"Maka demikianlah dilakukan orang Israel tentang mereka: setiap orang yang tidak datang berkumpul di Mizpa, tidak seorang pun dari suku Manasye yang diundang."
Ayat ke-9 dari pasal 21 dalam Kitab Hakim mencatat sebuah keputusan krusial yang diambil oleh bangsa Israel pada masa sulit. Peristiwa ini terjadi setelah sebuah tragedi di Gibea yang menyebabkan hampir seluruh suku Benyamin dibinasakan. Dalam upaya untuk mempertahankan keberadaan suku Benyamin, bangsa Israel sepakat untuk memberikan para wanita dari suku lain sebagai istri bagi para pria Benyamin yang tersisa. Namun, ada sebuah kondisi khusus yang kemudian menjadi fokus dari ayat ini. Suku-suku yang tidak memenuhi panggilan untuk berkumpul di Mizpa, sebuah tempat penting untuk pengambilan keputusan dan pemulihan rohani, dikenai sanksi: mereka tidak diizinkan untuk mendapatkan keturunan dari suku Benyamin.
Kisah ini, meskipun memiliki elemen dramatis, mengajarkan kita tentang prinsip-prinsip mendasar dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Keputusan yang diambil di Mizpa bukanlah sekadar hukuman, melainkan sebuah penegasan akan pentingnya kebersamaan dan tanggung jawab kolektif. Suku-suku yang memilih untuk tidak hadir dan mengambil bagian dalam penyelesaian masalah bangsa menunjukkan kurangnya komitmen terhadap persatuan. Dalam konteks ini, Hakim 21:9 menegaskan bahwa tindakan ketidakpedulian atau pengabaian terhadap panggilan untuk berpartisipasi dalam upaya bersama dapat membawa konsekuensi.
Keputusan ini, yang didokumentasikan dalam Kitab Hakim, bukan hanya catatan sejarah tetapi juga berisi pelajaran yang relevan. Keputusan bahwa suku yang tidak hadir di Mizpa tidak mendapatkan hak memilih istri dari suku Benyamin menekankan bahwa partisipasi aktif dan kesediaan untuk menghadapi masalah bersama adalah kunci. Ketika sebuah komunitas menghadapi krisis, setiap anggotanya memiliki peran dan tanggung jawab. Sikap apatis atau menghindar dari tanggung jawab dapat melemahkan fondasi persatuan dan mendatangkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi semua. Ini adalah pengingat akan pentingnya solidaritas dan kepedulian sosial.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah ini mengajarkan tentang keseimbangan antara keadilan dan belas kasihan. Meskipun ada konsekuensi bagi mereka yang tidak hadir, keputusan akhir tetap bertujuan untuk melestarikan sebuah suku yang hampir punah. Namun, penegasan di Hakim 21:9 menunjukkan bahwa ada batas-batas yang harus dihormati dalam menjalankan upaya pemulihan. Keadilan seringkali melibatkan pertanggungjawaban atas tindakan, termasuk tindakan kelalaian atau ketidakpedulian.
Selain itu, kisah ini juga menyoroti pentingnya tempat berkumpul seperti Mizpa. Tempat-tempat ini menjadi simbol di mana umat berkumpul untuk memecahkan masalah, membuat keputusan penting, dan memperkuat ikatan komunitas. Kegagalan untuk hadir di tempat seperti itu bisa diartikan sebagai penolakan terhadap otoritas moral dan kepemimpinan komunitas. Oleh karena itu, Hakim 21:9 menjadi pengingat abadi bahwa di tengah tantangan, kebersamaan, tanggung jawab, dan partisipasi aktif adalah pilar yang kokoh bagi kelangsungan dan kesejahteraan sebuah bangsa.