"Ah, alangkah lamanya ia harus tinggal sebagai orang asing, yang menumpang di Mezopotomia! Mengapa keretanya lamban datang?"
Ayat Hakim 5:29 membawa kita pada sebuah momen yang sarat emosi dan refleksi. Dalam konteks lagu Debora yang merayakan kemenangan Israel atas Kanaan, ayat ini secara spesifik menyoroti penantian panjang dan penuh kerinduan seorang ibu, kemungkinan adalah ibu Sisera. Ia menunggu kedatangan putranya yang memimpin pasukan. Kata-kata "Ah, alangkah lamanya ia harus tinggal sebagai orang asing, yang menumpang di Mezopotomia! Mengapa keretanya lamban datang?" menggambarkan sebuah kesabaran yang mulai terkikis, dipenuhi dengan kecemasan dan pertanyaan akan nasib sang putra.
Istilah "orang asing" dan "menumpang di Mezopotomia" memberikan gambaran geografis dan sosial. Sisera diperkirakan berasal dari Harosyet-Hagoyim, yang lokasinya diperdebatkan namun sering dikaitkan dengan wilayah utara Israel atau bahkan lebih jauh. Penantian ibu ini bukan sekadar penantian biasa; ini adalah penantian yang dibebani oleh ketidakpastian perang, perpisahan, dan keinginan mendalam seorang ibu untuk melihat anaknya selamat dan kembali. Mezopotomia, yang secara harfiah berarti "tanah di antara dua sungai", merupakan pusat peradaban kuno dan seringkali menjadi tempat asal atau tujuan pergerakan orang-orang pada zaman itu.
Pertanyaan retoris "Mengapa keretanya lamban datang?" mengungkap kegelisahan yang mendalam. Dalam budaya kuno, kereta perang atau kendaraan seringkali menjadi simbol kekuasaan, mobilitas, dan kecepatan. Keterlambatan kedatangan kereta Sisera bukan hanya soal waktu tempuh, tetapi juga bisa diartikan sebagai indikator adanya masalah. Apakah ada kekalahan? Apakah ada rintangan yang tidak terduga? Pikiran-pikiran inilah yang kemungkinan besar bergolak di benak sang ibu. Ia membayangkan putranya berada di tanah asing, dalam situasi yang tidak pasti, dan ia hanya bisa menunggu kabar.
Ayat ini, meskipun berasal dari konteks sejarah kuno, resonansinya sangat universal. Siapa pun yang pernah menunggu kabar penting tentang orang terkasih yang berada dalam situasi berisiko, pasti dapat merasakan emosi yang tergambar di sini. Ini adalah gambaran tentang bagaimana iman, harapan, dan rasa takut seringkali berjalinan dalam penantian. Ibu Sisera, dalam kesedihannya, menunjukkan sisi kemanusiaan yang mendalam, sebuah kerinduan keibuan yang melampaui politik atau peperangan itu sendiri. Penantian ini pada akhirnya terungkap dengan tragis, di mana Sisera akhirnya kalah perang dan tewas. Namun, ayat ini sendiri berfokus pada momen sebelum kebenaran itu terungkap, saat hanya ada doa, kecemasan, dan penantian yang tak berujung.
Refleksi dari Hakim 5:29 ini mengingatkan kita pada pentingnya kesabaran, empati, dan pemahaman terhadap beban yang mungkin ditanggung orang lain. Keadilan ilahi, seperti yang digambarkan dalam konteks kitab Hakim, seringkali diwarnai dengan drama kemanusiaan yang kompleks. Penantian ini, dalam kerangka narasi yang lebih luas, menunjukkan bagaimana para pelaku sejarah mengalami perjuangan dan kerinduan pribadi di tengah peristiwa besar.