Hakim 9:29

Dan ketika Abimelekh hendak membinasakan semua orang di kota itu, sesungguhnya ada seorang perempuan melemparkan batu giling dari atas tembok, sehingga menghancurkan kepala Abimelekh.

Keadilan yang Berbinar Terang: Refleksi dari Hakim 9:29

Kisah Abimelekh dalam Kitab Hakim seringkali menjadi pengingat yang kuat tentang konsekuensi dari keserakahan dan ambisi yang gelap. Namun, pada pasal 9 ayat 29, terdapat sebuah momen yang menyoroti bagaimana keadilan, meski datang dari sumber yang tak terduga, dapat menjatuhkan mereka yang berbuat sewenang-wenang. Peristiwa ini bukan sekadar akhir tragis bagi seorang tiran, tetapi sebuah ilustrasi yang tajam tentang prinsip bahwa setiap perbuatan, sehebat atau sekejam apapun, pada akhirnya akan menuai hasilnya. Abimelekh, putra Gideon yang ambisius, telah menodai namanya sendiri dengan serangkaian tindakan brutal, termasuk membunuh saudara-saudaranya sendiri demi merebut kekuasaan. Dia membangun sebuah kerajaan di atas darah dan pengkhianatan, menganggap dirinya tak tersentuh oleh hukum alam maupun ilahi.

Namun, takdirnya berubah drastis di kota Tebez. Saat Abimelekh menyerang kota tersebut dengan gigih, berusaha menaklukkan warganya yang berani menentangnya, nasibnya ditentukan oleh tangan seorang perempuan biasa. Dari atas tembok kota, perempuan tersebut, yang mungkin didorong oleh keberanian yang lahir dari keputusasaan dan keinginan untuk melindungi rumahnya, melemparkan batu giling. Batu yang tampaknya kecil dan sederhana itu, di tangan yang tepat dan pada saat yang tepat, menjadi alat keadilan ilahi. Hantaman batu itu menghancurkan kepala Abimelekh, mengakhiri riwayat kekuasaannya yang berlumuran dosa. Ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa kekuasaan yang dibangun di atas kezaliman dan kekerasan tidaklah abadi. Ia bisa runtuh kapan saja, bahkan oleh tangan orang yang dianggap lemah dan tidak berdaya.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa keadilan tidak selalu datang dalam bentuk yang kita harapkan. Ia bisa hadir melalui perantara yang paling tidak mungkin. Keberanian seorang perempuan biasa di Tebez, yang bertindak tanpa pamrih untuk membela kotanya, menjadi instrumen keadilan yang luar biasa. Ini adalah pengingat bahwa meskipun manusia seringkali menciptakan sistem yang kompleks untuk menegakkan keadilan, pada akhirnya, ada kekuatan yang lebih besar yang memastikan keseimbangan tetap terjaga. Kisah Abimelekh dan batu giling itu menjadi simbol abadi bahwa ambisi tanpa batas dan kekejaman akan selalu menemukan jalannya menuju kehancuran, dan bahwa keadilan, dalam segala bentuknya, pada akhirnya akan terungkap.

Fokus pada detail pelemparan batu giling itu sendiri sungguh menarik. Ini bukan sekadar serangan terorganisir, melainkan tindakan individu yang spontan namun memiliki dampak yang sangat besar. Ini bisa jadi merupakan alegori tentang bagaimana tindakan-tindakan kecil dari banyak orang, ketika diarahkan pada kebenaran, dapat menjatuhkan kekuatan tirani. Hakim 9:29 mendorong kita untuk merenungkan tentang keadilan, keberanian individu, dan prinsip bahwa kejahatan, sekecil apapun perlawanan yang dihadapinya, pada akhirnya akan dihadapkan pada konsekuensinya. Abimelekh mungkin telah memulai perjalanannya dengan keinginan untuk mendominasi, tetapi ia mengakhiri hidupnya dengan cara yang paling tidak terduga, menjadi korban dari sebuah tindakan yang mencerminkan perlawanan terhadap kekuasaannya yang menindas.