Hakim 9:4 - Kharisma yang Menyesatkan

"Dan mereka memberikan perak itu kepadanya di istana Baal-Berit, yang dipakai untuk membeli orang-orang boros dan pelarian, yang mengikuti Abimelekh."

Ikon keadilan atau peringatan

Kisah Abimelekh yang tercatat dalam Kitab Hakim-hakim pasal 9 ayat 4 memberikan sebuah perspektif yang menarik tentang bagaimana kekuasaan dapat diperoleh dan dipertahankan. Ayat ini tidak hanya menggambarkan praktik pembelian pengaruh politik, tetapi juga menyoroti sifat dari mereka yang bersedia menjual kesetiaan mereka untuk keuntungan sesaat. Abimelekh, putra Gideon, berusaha merebut kekuasaan di kota Sikhem. Untuk mewujudkan ambisinya, ia menggunakan uang yang ia kumpulkan. Alkitab dengan gamblang menyebutkan bahwa perak yang diberikan kepada Abimelekh digunakan untuk "membeli orang-orang boros dan pelarian".

Istilah "orang-orang boros" dalam konteks ini mengacu pada individu-individu yang cenderung hidup dalam kemewahan, tidak memiliki prinsip yang kuat, dan mudah dipengaruhi oleh tawaran materi. Mereka adalah orang-orang yang mencari keuntungan pribadi tanpa mempedulikan kebenaran atau keadilan. Di sisi lain, "pelarian" menunjukkan mereka yang mungkin berada dalam kesulitan, terpinggirkan, atau memiliki catatan buruk, sehingga mereka lebih rentan untuk menjual diri mereka demi mendapatkan perlindungan atau kesempatan. Kedua kelompok ini, meskipun berbeda latar belakang, disatukan oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu dari Abimelekh, seringkali dengan cara yang tidak jujur.

Pembelian pengaruh semacam ini adalah sebuah praktik kuno yang sayangnya masih sering kita temui dalam berbagai bentuk di era modern. Korupsi, suap, dan manipulasi politik seringkali berakar pada logika yang sama: memanfaatkan kerentanan dan keserakahan individu untuk mencapai tujuan kekuasaan. Ayat ini menjadi sebuah pengingat yang tajam bahwa fondasi kekuasaan yang dibangun di atas materi dan pengaruh yang dibeli dengan cara yang tidak benar, pada akhirnya akan rapuh dan tidak bertahan lama. Keadilan sejati tidak dapat dibeli; ia harus tumbuh dari integritas, prinsip, dan kesetiaan pada kebenaran.

Kisah Abimelekh mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap pemimpin atau sistem yang menggunakan cara-cara seperti ini. Orang-orang yang "dibeli" mungkin setia untuk sementara waktu, selama tawaran itu menguntungkan mereka. Namun, ketika situasi berubah, atau ketika ada tawaran yang lebih baik, kesetiaan mereka bisa dengan mudah berpindah tangan. Ini adalah gambaran yang tragis tentang bagaimana integritas dapat dikorbankan demi keuntungan materi. Hakim 9:4 tidak hanya menceritakan sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga menyajikan sebuah pelajaran moral universal tentang bahaya korupsi dan pentingnya membangun masyarakat di atas nilai-nilai yang kokoh, bukan sekadar transaksi finansial.

Oleh karena itu, ketika kita merenungkan Hakim 9:4, kita diajak untuk melihat lebih dalam pada motivasi di balik tindakan seseorang dan pada struktur kekuasaan yang terbentuk. Apakah kekuasaan itu didasarkan pada prinsip yang benar atau hanya hasil dari tawar-menawar yang licik? Keadilan sejati membutuhkan lebih dari sekadar kehadiran hakim atau penguasa; ia membutuhkan hati yang murni dan komitmen yang teguh pada kebenaran, sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan perak atau emas.