"Dan tidak ada seorang pun yang mengambil kehormatan itu untuk dirinya sendiri, melainkan dia yang dipanggil oleh Allah, seperti juga Harun."
Ayat Ibrani 5:4 menyentuh inti dari otentisitas pelayanan rohani. Frasa "tidak ada seorang pun yang mengambil kehormatan itu untuk dirinya sendiri" menegaskan bahwa peran sebagai mediator antara Tuhan dan manusia bukanlah sesuatu yang bisa diraih melalui ambisi pribadi, kekuatan manusia, atau keinginan duniawi. Kehormatan ini, yang merujuk pada posisi sebagai imam besar yang melayani di hadapan Allah, adalah anugerah yang hanya dianugerahkan oleh Allah sendiri kepada pribadi yang layak dan dipilih-Nya.
Penulis Surat Ibrani menekankan bahwa pelayanan ini harus berasal dari panggilan ilahi. Panggilan ini bukan sekadar rekomendasi atau pengakuan dari sesama manusia, melainkan penunjukan langsung dari Yang Maha Kuasa. Ini adalah prinsip fundamental yang membedakan pelayanan sejati dari klaim kehormatan yang tidak berdasar. Dalam konteks Perjanjian Lama, pemanggilan Harun sebagai imam besar adalah contoh nyata dari otoritas ilahi ini. Harun tidak naik takhta kekuasaan keimaman atas kemauannya sendiri; ia secara spesifik dipilih dan ditahbiskan oleh Allah melalui Musa (Keluaran 28:1).
Menariknya, penulis surat ini kemudian menghubungkan prinsip pemanggilan Harun dengan Kristus. Sepanjang kitab Ibrani, Kristus digambarkan sebagai Imam Besar yang sempurna, yang panggilan-Nya dan penahbisan-Nya bukan berasal dari garis keturunan manusiawi semata, tetapi merupakan janji dan penetapan ilahi. Dia adalah yang "dipanggil oleh Allah menjadi Imam Besar, menurut peraturan Melkisedek" (Ibrani 5:10). Ini menunjukkan bahwa Kristus tidak pernah memproklamirkan diri-Nya sendiri sebagai Imam Besar, tetapi Allah Bapa yang menginstitusikan dan mengukuhkan peran-Nya yang unik.
Implikasi dari ayat ini sangat mendalam bagi kehidupan rohani. Pertama, ini mengajarkan kerendahan hati. Siapapun yang merasa terpanggil untuk melayani dalam kapasitas rohani, baik sebagai pemimpin gereja, pengkhotbah, guru, atau dalam bentuk pelayanan lainnya, harus senantiasa memeriksa motivasinya. Apakah panggilan itu datang dari dorongan hati yang tulus untuk melayani Tuhan dan sesama, ataukah ada unsur kebanggaan dan keinginan untuk dihormati? Kepatuhan pada panggilan ilahi adalah kunci keaslian pelayanan.
Kedua, ayat ini memberikan kepastian. Panggilan yang datang dari Allah memiliki otoritas dan jaminan. Kita tidak perlu ragu tentang keabsahan pelayanan yang didasarkan pada panggilan ilahi yang jelas. Seperti Harun yang menjadi imam besar karena dipilih Allah, begitu pula Kristus, sebagai Imam Besar kita, adalah penunjukan yang pasti dari Bapa. Ini memberikan dasar yang kokoh bagi iman kita dan keyakinan akan penebusan yang telah Ia sediakan bagi kita melalui pelayanan kekal-Nya.
Jadi, Ibrani 5:4 bukan hanya sebuah catatan historis atau teologis, tetapi sebuah pengingat penting tentang sumber otoritas dan otentisitas pelayanan. Ini adalah ajakan untuk meneladani Kristus, yang dalam segala hal, bertindak sesuai dengan kehendak Bapa-Nya, dan menerima kehormatan yang Ia berikan, bukan yang Ia ambil sendiri. Kita semua, sebagai umat percaya, dipanggil untuk mengenali dan menghormati mereka yang telah dipanggil dan diutus oleh Allah, serta untuk memastikan bahwa pelayanan kita sendiri berakar pada panggilan-Nya yang suci.