Kisah yang tercatat dalam Imamat pasal 10, khususnya ayat keempat, membawa kita pada momen krusial dalam sejarah umat Israel. Peristiwa ini melibatkan kematian tragis Nadab dan Abihu, putra-putra Harun, yang bertindak ceroboh dalam mempersembahkan korban api yang tidak diizinkan Tuhan. Ayat ini kemudian menunjukkan reaksi Musa sebagai pemimpin rohani umat, yang memerintahkan pengangkatan jenazah mereka. Di balik narasi yang tampak sederhana ini, terdapat pelajaran mendalam tentang ketaatan, kekudusan, dan konsekuensi dari ketidakhati-hatian di hadapan Tuhan.
Imamat 10:4 bukan sekadar detail prosedural mengenai pemindahan jenazah. Ini adalah titik tolak untuk memahami bagaimana Tuhan memandang kekudusan-Nya dan ibadah yang dilakukan kepada-Nya. Nadab dan Abihu, meskipun anak-anak Imam Besar, melakukan kesalahan fatal dengan mempersembahkan "api asing" (Imamat 10:1), yaitu api yang tidak diperintahkan oleh Tuhan. Ini menunjukkan bahwa ibadah dan pelayanan kepada Tuhan menuntut kepatuhan yang mutlak terhadap firman-Nya. Tidak ada ruang untuk improvisasi atau mengikuti keinginan pribadi ketika berhadapan dengan hal-hal kudus.
Perintah Musa dalam Imamat 10:4 menjadi instruksi penting selanjutnya. Ia tidak memerintahkan orang lain, melainkan memanggil kerabat dekat korban, yaitu Misael dan Elisafan, yang merupakan sepupu Nadab dan Abihu. Tindakan ini memiliki makna ganda. Pertama, ini adalah sebuah tugas yang membutuhkan keberanian dan kesiapan untuk berurusan langsung dengan kematian yang disebabkan oleh murka ilahi. Kedua, ini menunjukkan bagaimana komunitas, bahkan dalam momen kesedihan dan ketakutan, tetap harus menjalankan tugas-tugas yang diperintahkan. Pengangkatan jenazah tersebut menjadi pengingat visual yang kuat bagi seluruh umat Israel tentang keseriusan dosadan konsekuensi pelanggaran hukum Tuhan.
Dalam konteks yang lebih luas, Imamat 10:4 menekankan pentingnya otoritas dan kepemimpinan rohani. Musa, yang bertindak atas perintah Tuhan, memberikan instruksi yang jelas. Ini mengajarkan kita bahwa dalam kehidupan beriman, ada struktur dan arahan yang harus ditaati. Pelajaran ini relevan bahkan hingga saat ini. Bagaimana kita mendekati Tuhan dalam doa? Bagaimana kita beribadah di gereja atau dalam komunitas rohani kita? Apakah kita melakukannya dengan hati yang patuh dan pengetahuan yang benar tentang firman-Nya, atau kita membiarkan kebiasaan dan tradisi tanpa dasar ilahi menguasai?
Peristiwa Nadab dan Abihu, dan perintah Musa dalam Imamat 10:4, adalah pengingat abadi tentang keagungan Tuhan dan pentingnya hidup dalam kekudusan. Ibadah yang sejati bukan hanya soal ritual, tetapi soal hati yang taat dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Mari kita renungkan makna ayat ini dalam kehidupan pribadi kita, memastikan bahwa setiap langkah ibadah kita selaras dengan ajaran firman-Nya, demi kemuliaan nama-Nya.