"Selama tujuh hari kamu harus diam dalam pondok-pondok [sukkot]; setiap orang Israel asli harus diam dalam pondok-pondok, supaya kamu tahu dari masa ke masa, bahwa dahulu bani Israel diam dalam pondok-pondok, ketika Aku membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Akulah TUHAN, Allahmu."
Ayat Imamat 23:42 merupakan landasan penting dalam tradisi Yahudi, yaitu perintah untuk merayakan Hari Raya Pondok Daun atau Sukkot. Perintah ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah pengingat yang kuat akan perjalanan spiritual dan fisik bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjian.
Secara harfiah, ayat ini memerintahkan umat Israel untuk mendiami pondok-pondok selama tujuh hari perayaan. Pondok-pondok ini, yang sering disebut "sukkot," dibangun dari ranting-ranting dan dedaunan, menyerupai tempat tinggal sementara yang mungkin digunakan oleh nenek moyang mereka selama perjalanan 40 tahun di padang gurun. Tindakan fisik untuk tinggal di pondok-pondok ini bertujuan agar generasi yang akan datang, serta mereka yang merayakannya, dapat merasakan dan mengingat kembali bagaimana Allah memelihara dan melindungi umat-Nya di tengah kondisi yang serba tidak pasti dan keras.
Lebih dari sekadar pengingat sejarah, Sukkot adalah perayaan rasa syukur atas panen dan berkat Allah yang melimpah. Ini adalah waktu untuk mengakui bahwa segala sesuatu yang dimiliki, termasuk tempat tinggal yang kokoh, berasal dari karunia-Nya. Dengan sengaja keluar dari kenyamanan rumah permanen mereka, orang-orang Israel diingatkan akan ketergantungan mereka pada Allah dan kesetiaan-Nya yang tak pernah berhenti. Perintah dalam Imamat 23:42 ini menggarisbawahi pentingnya pengalaman imanen dalam memahami iman. Bukan hanya mengetahui secara intelektual, tetapi merasakan secara pribadi melalui praktik ritual.
Perayaan Sukkot mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan pengakuan akan kemahakuasaan Tuhan. Di tengah kemajuan zaman dan kemapanan, tradisi ini mengajak kita untuk sejenak "kembali" ke akar, mengingatkan bahwa keberadaan kita, keamanan kita, dan segala kemudahan yang kita nikmati adalah pemberian dari Yang Maha Kuasa. Ini adalah undangan untuk terus menerus menilik kembali kesetiaan Tuhan dalam kehidupan kita, dari masa ke masa, sebagaimana Ia setia memimpin bani Israel keluar dari tanah Mesir.
Ayat ini juga memiliki dimensi teologis yang mendalam. Kata "Aku" dalam kalimat "Akulah TUHAN, Allahmu" menegaskan hubungan pribadi antara Tuhan dan umat-Nya. Ia bukan hanya pencipta alam semesta, tetapi juga Allah yang peduli, yang menyelamatkan, dan yang menjalin perjanjian. Perayaan Sukkot menjadi momen sakral untuk memperkuat ikatan ini, merayakan kasih dan janji-Nya yang tak pernah berubah. Dengan memahami dan merayakan Imamat 23:42, kita diajak untuk merefleksikan perjalanan iman kita sendiri, mengenali jejak pemeliharaan Tuhan dalam hidup kita, dan bersyukur atas keselamatan yang telah dianugerahkan.