Simbol aliran berkah dan kebebasan.
"Jikalau kamu berkata: Apakah yang boleh kami makan pada tahun yang ketujuh, kalau-kalau kami tidak menanam dan tidak menuai hasilnya?"
Ayat Imamat 25:20 ini muncul dalam konteks hukum Sabat dalam Perjanjian Lama, yang berlaku baik untuk tanah maupun untuk manusia. Setelah enam tahun bercocok tanam, tahun ketujuh adalah tahun Sabat bagi tanah di mana tanah itu harus diistirahatkan, tidak ditanami dan tidak dipanen. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran bagi bangsa Israel. Pertanyaan yang diajukan, "Apakah yang boleh kami makan pada tahun yang ketujuh, kalau-kalau kami tidak menanam dan tidak menuai hasilnya?" mencerminkan keraguan dan ketakutan alami manusia ketika dihadapkan pada situasi yang tampaknya tidak menguntungkan secara ekonomi. Mereka khawatir akan kelaparan dan kekurangan.
Namun, kekhawatiran ini dijawab dengan tegas oleh Tuhan dalam ayat-ayat selanjutnya (Imamat 25:21-22). Tuhan berjanji bahwa Dia akan memerintahkan berkat-Nya kepada mereka dalam tahun keenam, sehingga tanah itu akan menghasilkan cukup untuk tiga tahun. Janji ini adalah manifestasi dari pemeliharaan ilahi yang luar biasa. Tuhan tidak hanya meminta ketaatan, tetapi Dia juga menjamin bahwa ketaatan itu akan membawa berkat yang melimpah, bahkan lebih dari yang dibutuhkan. Ini mengajarkan kita sebuah prinsip penting: ketika kita memprioritaskan kehendak Tuhan dan mentaati perintah-Nya, bahkan jika itu tampaknya membutuhkan pengorbanan atau membawa risiko, Tuhan akan memastikan kebutuhan kita terpenuhi dan bahkan melampauinya.
Tahun Sabat tanah ini bukan hanya tentang istirahat fisik, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam terkait kemerdekaan dan kebebasan. Dengan mengistirahatkan tanah, bangsa Israel diingatkan bahwa mereka bukanlah pemilik sejati dari tanah itu. Tuhan adalah pemiliknya, dan mereka hanyalah pengelola. Prinsip ini membebaskan mereka dari rasa posesif yang berlebihan dan keterikatan pada materi.
Lebih jauh lagi, hukum Sabat ini merupakan fondasi bagi pengenalan tahun Yobel (Imamat 25:8-17), yang jatuh setiap 50 tahun. Tahun Yobel adalah tahun pembebasan, di mana budak-budak dibebaskan, hutang-hutang dihapuskan, dan tanah yang tergadai dikembalikan kepada pemilik aslinya. Ini adalah pengingat tahunan dan periodik akan sifat pembebasan Tuhan dari perbudakan Mesir dan juga persiapan bagi pembebasan yang lebih besar yang akan datang melalui Kristus.
Dengan mematuhi hukum Sabat dan Yobel, bangsa Israel diingatkan untuk tidak menjadikan kekayaan atau kepemilikan tanah sebagai pusat kehidupan mereka. Sebaliknya, mereka diajak untuk bergantung sepenuhnya pada Tuhan dan menikmati kebebasan yang Dia berikan. Ini adalah kebebasan dari ketakutan akan kekurangan, kebebasan dari perbudakan hutang, dan kebebasan dari keterikatan pada dunia materi.
Meskipun kita tidak lagi hidup di bawah hukum Sabat tanah seperti yang diterapkan pada bangsa Israel, prinsip-prinsip di baliknya tetap relevan. Imamat 25:20 mengajarkan kita untuk percaya pada pemeliharaan Tuhan di tengah ketidakpastian. Ini mendorong kita untuk melepaskan kekhawatiran yang berlebihan tentang masa depan dan menempatkan iman kita pada janji-janji-Nya. Ketika kita mengutamakan prinsip-prinsip kekerajaan Tuhan, seperti ketaatan, belas kasih, dan kemurahan hati, Tuhan berjanji untuk menyediakan kebutuhan kita.
Selain itu, ayat ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya keseimbangan dan istirahat dalam hidup. Baik bagi individu maupun bagi sistem ekonomi yang kita jalankan, mengabaikan kebutuhan akan istirahat dan pemulihan dapat berujung pada kelelahan dan kehancuran. Menghormati siklus alamiah dan memberikan ruang untuk istirahat adalah wujud kearifan dan kepercayaan kepada tatanan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Dengan demikian, Imamat 25:20 bukan hanya sebuah ayat hukum kuno, tetapi sebuah pengingat abadi tentang berkat, kemerdekaan, dan kepercayaan penuh kepada Tuhan yang memelihara segala ciptaan-Nya.