"Dan ia haruslah menjadi hamba untuk selamanya dengan rodanya."
Ayat Imamat 25:53 berbicara mengenai keadaan seorang hamba yang seharusnya dibebaskan, namun karena suatu alasan tertentu, ia memilih untuk tetap melayani tuannya selamanya. Frasa "dengan rodanya" merujuk pada sebuah ritual di mana hamba tersebut akan diperlakukan seolah-olah ia "menancapkan" telinganya pada tiang pintu rumah tuannya. Tindakan ini secara simbolis menandakan penerimaan sukarela dan permanen terhadap status perbudakan. Namun, pemahaman yang lebih mendalam mengungkapkan nuansa kasih dan tanggung jawab yang ingin disampaikan oleh hukum Taurat.
Dalam konteks Hukum Musa, perbudakan memiliki batasan yang signifikan. Berbeda dengan perbudakan di banyak budaya lain, perbudakan dalam Israel kuno seringkali lebih bersifat sebagai bentuk utang atau pelayanan sementara. Tujuannya adalah untuk mengatasi kemiskinan ekstrem dan memberikan perlindungan bagi yang lemah. Ada aturan ketat yang melindungi hak-hak para hamba, termasuk kewajiban untuk membebaskan mereka setelah periode waktu tertentu, atau pada Tahun Yobel. Ayat ini menjadi pengecualian, sebuah pilihan yang dilandasi oleh sesuatu yang lebih dari sekadar paksaan.
Mengapa seorang hamba memilih untuk menjadi hamba selamanya? Tentu saja, ini bukanlah skenario yang ideal dalam pengertian modern tentang kebebasan. Namun, dalam konteks sosial dan ekonomi zaman itu, ada kemungkinan bahwa hamba tersebut merasa lebih aman dan terjamin hidupnya dengan terus melayani tuannya daripada kembali ke keadaan yang mungkin lebih sulit. Mungkin tuannya telah menunjukkan kebaikan yang luar biasa, kasih, dan perlindungan kepadanya. Hamba tersebut mungkin merasa terikat oleh rasa terima kasih yang mendalam dan menyadari bahwa ia tidak akan menemukan perlakuan yang sebaik itu di tempat lain.
Lebih jauh lagi, pilihan ini bisa mencerminkan sebuah bentuk perjanjian yang didasari oleh kesetiaan dan penghargaan. Bukan lagi perbudakan yang dipaksakan, melainkan sebuah pengabdian sukarela. Ini adalah sebuah pilihan yang menunjukkan bahwa hubungan antara tuan dan hamba bisa berkembang menjadi lebih dari sekadar hubungan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat sebagai refleksi dari bagaimana hubungan manusia seharusnya dibangun atas dasar kasih, rasa hormat, dan kepercayaan, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Dalam perspektif teologis, ayat ini juga dapat diartikan sebagai gambaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Ketika seseorang secara tulus mengasihi Tuhan dan menyadari kebaikan-Nya yang tak terhingga, ia mungkin memilih untuk menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Sang Pencipta. Ini bukan pelayanan karena ketakutan atau kewajiban belaka, melainkan pelayanan yang lahir dari hati yang penuh syukur dan kasih. Kebebasan sejati justru ditemukan dalam penyerahan diri yang total kepada kehendak ilahi, sebuah kesediaan untuk "menancapkan telinga" dan mengikuti-Nya untuk selamanya, seperti hamba yang memilih tuannya. Ini adalah sebuah paradoks yang indah: penyerahan diri yang tulus justru membebaskan jiwa dari belenggu ego dan memberikan arti yang mendalam bagi kehidupan.