"Dan jika ia mempersembahkan dari ladang miliknya sebagai nazar kepada TUHAN, maka nilainya haruslah menurut benih yang dapat ditabur padanya, lima puluh syikal perak."
Ilustrasi: Tanah yang diserahkan sebagai tanda nazar.
Ayat Imamat 27:18 merupakan bagian dari peraturan-peraturan mengenai nazar dalam Perjanjian Lama. Bagian ini secara spesifik membahas mengenai bagaimana nilai dari tanah yang dipersembahkan kepada Tuhan, yang dijanjikan melalui sebuah nazar, harus dinilai. Peraturan ini memberikan panduan yang jelas: nilai tanah tersebut diukur berdasarkan "benih yang dapat ditabur padanya" dan dihargai lima puluh syikal perak. Ini menunjukkan sebuah sistem yang terstruktur dan adil dalam menentukan nilai persembahan, bukan berdasarkan perkiraan semata, melainkan berdasarkan potensi produktivitas tanah tersebut.
Nazar dalam konteks Alkitab adalah janji yang dibuat seseorang kepada Tuhan, seringkali sebagai bentuk ungkapan syukur, permohonan pertolongan, atau pengabdian. Ketika tanah dipersembahkan sebagai nazar, ini berarti pemiliknya menyerahkan hak kepemilikan dan manfaat dari tanah tersebut kepada Tuhan, atau kepada pelayanan ilahi yang ditunjuk-Nya. Ini adalah tindakan ketaatan dan pengorbanan yang mendalam, yang mencerminkan pengakuan bahwa segala sesuatu, termasuk tanah yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharian, berasal dari Tuhan.
Penentuan nilai berdasarkan "benih yang dapat ditabur" adalah sebuah cara yang cerdas untuk menghitung potensi penghasilan atau nilai ekonomi tanah. Tanah yang subur dan mampu menampung banyak benih tentu memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan tanah yang kurang produktif. Hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya mempertimbangkan nilai intrinsik dan potensi dari apa yang kita persembahkan kepada Tuhan. Persembahan bukanlah sekadar pemberian materi, tetapi juga mencerminkan pemahaman kita akan anugerah dan berkat yang telah Tuhan limpahkan.
Dalam Imamat 27:18, kita melihat bagaimana Tuhan mengatur bahkan hal-hal yang bersifat material dengan prinsip keadilan dan perhitungan yang cermat. Ini bukan tentang memaksa umat-Nya untuk memberikan apa yang tidak mereka miliki, melainkan tentang menuntun mereka untuk mempersembahkan dengan tulus hati dan nilai yang sesuai. Penggunaan "syikal perak" sebagai satuan nilai juga menunjukkan adanya standar moneter yang diakui pada masa itu, menegaskan keseriusan dan formalitas dari persembahan nazar ini.
Lebih dari sekadar aturan hukum, Imamat 27:18 menyimpan pelajaran rohani yang relevan bagi kita saat ini. Tanah dalam ayat ini bisa dimaknai secara metaforis sebagai aset, talenta, waktu, atau sumber daya lain yang Tuhan percayakan kepada kita. Ketika kita "mempersembahkan" bagian dari hidup kita untuk pelayanan Tuhan, kemuliaan-Nya, atau kebaikan sesama, nilai persembahan tersebut seharusnya dinilai secara bijak. Bukan hanya jumlah yang penting, tetapi juga ketulusan, kerelaan hati, dan potensi dampak positif yang dapat dihasilkan dari persembahan tersebut.
Menerapkan prinsip Imamat 27:18 berarti kita diajak untuk mengelola dan mempersembahkan segala sesuatu yang kita miliki dengan kesadaran bahwa itu adalah milik Tuhan. Ketaatan, syukur, dan kemauan untuk melepaskan demi kerajaan-Nya adalah inti dari persembahan yang berkenan. Melalui ayat ini, Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa persembahan yang tulus, yang diukur dengan kasih dan pemahaman akan nilai berkat, adalah cara kita menghormati dan mengasihi Dia.