Kisah pembangunan Menara Babel, sebagaimana dicatat dalam Kitab Kejadian pasal 11, adalah salah satu narasi paling signifikan dalam Perjanjian Lama yang menjelaskan asal-usul keragaman bahasa dan bangsa di dunia. Ayat kelima dari pasal ini, "TUHAN turun untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu," menyajikan momen penting di mana Allah campur tangan dalam urusan manusia.
Setelah Air Bah besar, umat manusia kembali berkembang biak dan hidup bersama dalam satu kesatuan bahasa. Namun, kesatuan ini tidak membawa kemajuan spiritual atau kesatuan dalam tujuan ilahi. Sebaliknya, manusia menggunakan kekuatan kolektif dan kesamaan bahasa mereka untuk membangun sebuah kota dan menara yang menjulang tinggi hingga ke langit. Tujuannya bukan untuk kemuliaan Tuhan, melainkan untuk "membuat nama" bagi diri mereka sendiri, agar mereka tidak tersebar ke seluruh bumi. Ambisi ini mencerminkan kesombongan, keinginan untuk otonomi penuh dari pencipta, dan upaya untuk mencapai kesetaraan dengan Tuhan.
Ilustrasi simbolis turunnya TUHAN ke bumi.
Frasa "TUHAN turun" dalam ayat ini adalah gambaran antropomorfis, yaitu penggambaran Tuhan dalam bentuk atau tindakan manusia untuk memudahkan pemahaman bagi pembaca. Ini bukan berarti Tuhan memiliki bentuk fisik yang sama dengan manusia, melainkan menekankan pengamatannya yang langsung dan partisipasinya dalam peristiwa tersebut. TUHAN melihat upaya manusia yang berpusat pada diri sendiri, yang bertentangan dengan perintah-Nya untuk memenuhi dan menguasai bumi. Keserakahan dan kesombongan yang tersirat dalam proyek Babel menjadi ancaman bagi tatanan ciptaan.
Sebagai respons, TUHAN memutuskan untuk mengacaukan bahasa mereka sehingga mereka tidak dapat lagi memahami satu sama lain. Tindakan ini menghentikan pembangunan menara dan menyebabkan tersebarnya manusia ke seluruh penjuru bumi, sesuai dengan rencana awal Tuhan. Kejadian 11:5 bukan sekadar deskripsi sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga sebuah pengajaran teologis tentang sifat Allah yang mahatahu, keadilan-Nya terhadap kesombongan, dan bagaimana Dia bekerja untuk mewujudkan tujuan-Nya meskipun ada pemberontakan manusia.
Kisah ini mengajarkan bahwa kekuatan, kecerdasan, dan kesatuan yang digunakan tanpa ketergantungan pada Tuhan dan tanpa tujuan untuk kemuliaan-Nya dapat berujung pada kehancuran. Penting untuk diingat bahwa kesatuan bahasa yang dimiliki manusia pada awalnya adalah anugerah, yang seharusnya digunakan untuk membangun hubungan yang harmonis dan melayani Tuhan. Sebaliknya, mereka menyalahgunakannya untuk tujuan egois.
Oleh karena itu, Kejadian 11:5 mengingatkan kita untuk selalu merendahkan hati di hadapan Tuhan, menyadari keterbatasan kita, dan mengarahkan segala usaha kita, baik secara individu maupun kolektif, untuk tujuan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Pemahaman tentang ayat ini juga memberikan konteks tentang bagaimana keragaman budaya dan bahasa yang kita lihat di dunia saat ini berasal dari tindakan ilahi yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan ciptaan dan mencegah manusia kembali ke jalan kesombongan dan pemberontakan yang ekstrem.