Kisah Abram yang dicatat dalam Kejadian 12:11 membawa kita pada momen krusial dalam perjalanan iman bapak leluhur bangsa Israel. Ayat ini tidak hanya menggambarkan sebuah situasi sulit yang dihadapi Abram dan Sarai, tetapi juga menyoroti kompleksitas iman di tengah ketidakpastian dan potensi bahaya.
Setelah menerima panggilan ilahi yang luar biasa untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke negeri yang dijanjikan Allah, Abram segera menaati. Namun, begitu ia tiba di Kanaan, ia dihadapkan pada kelaparan yang hebat. Kelaparan ini memaksa Abram untuk mengambil keputusan yang berisiko, yaitu turun ke Mesir untuk mencari penghidupan. Keputusan ini bukanlah sebuah pemberontakan terhadap panggilan Allah, melainkan sebuah respons pragmatis terhadap kondisi darurat yang dihadapi.
Di sinilah kita menemukan percakapan Abram dengan Sarai, yang terekam dalam Kejadian 12:11. Abram, yang dikenal sebagai seorang yang percaya, mengungkapkan kekhawatirannya yang mendalam. Ia menyadari kecantikan istrinya, Sarai, dan menduga bahwa hal itu akan menimbulkan masalah di Mesir. Ketakutan Abram bukanlah tentang dirinya sendiri, melainkan tentang bagaimana ketampanan Sarai dapat membahayakan nyawanya. Ia khawatir bahwa para pria Mesir, melihat Sarai, akan berasumsi bahwa ia adalah istri Abram, dan demi mendapatkan Sarai, mereka akan membunuh Abram dan membiarkan Sarai hidup.
Strategi yang kemudian diambil Abram adalah meminta Sarai untuk mengaku sebagai saudara perempuannya. Ini adalah sebuah tindakan yang seringkali diperdebatkan dalam teologi. Dari satu sisi, ini adalah sebuah kebohongan, sebuah tipu muslihat. Dari sisi lain, Abram mungkin melihat ini sebagai cara untuk melindungi Sarai sekaligus dirinya dari potensi kekerasan yang lebih besar. Ia memprediksi bahwa jika Sarai mengaku sebagai saudara, ia akan diperlakukan dengan baik dan mungkin akan ada perlindungan yang diberikan kepada Abram sebagai "saudaranya", bukan sebagai suami yang harus disingkirkan.
Kejadian 12:11 menunjukkan bahwa iman tidak berarti tanpa ketakutan atau tanpa menghadapi dilema moral. Abram dipanggil oleh Allah, dijanjikan keturunan dan tanah yang melimpah. Namun, ia tetaplah manusia yang bergulat dengan realitas dunia yang keras dan seringkali tidak adil. Ketakutan Abram mencerminkan kerentanan manusiawi, namun tindakan Abram yang tetap bergerak menuju Mesir, meskipun dengan strategi yang kontroversial, menunjukkan bahwa ia terus berusaha menjalani hidupnya di bawah pimpinan Tuhan, meskipun caranya mungkin tidak sempurna.
Kisah ini juga menggarisbawahi pentingnya visi yang lebih besar yang telah diberikan Allah kepada Abram. Meskipun ia mungkin mengambil langkah-langkah yang tampak berisiko atau kurang bijaksana, fokus utamanya adalah bagaimana ia dapat bertahan dan akhirnya memenuhi janji Allah. Hubungan Abram dan Sarai tampaknya menjadi dasar yang kuat, di mana mereka dapat berkomunikasi secara terbuka tentang ketakutan dan rencana mereka. Ini mengingatkan kita bahwa dalam perjalanan iman, dukungan dan keterbukaan dalam hubungan sangatlah penting.
Pada akhirnya, meskipun Abram mengambil langkah yang keliru, Allah tetap bekerja. Pengalaman di Mesir, meskipun diawali dengan kebohongan, berakhir dengan pemeliharaan Allah, di mana Firaun sendiri memperlakukan Abram dengan baik, bahkan memberinya harta benda. Ini mengajarkan bahwa Allah dapat menggunakan bahkan kekurangan dan kesalahan kita untuk membawa kebaikan dan untuk meneguhkan rencana-Nya.