"Lalu Abram menjawab: 'Ya Tuhan, ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku? Aku berlaku tanpa anak, dan anak itu adalah Eliezer dari Damsyik.'"
Kejadian 15:3 mencatat sebuah momen penting dalam kisah Abraham. Setelah Allah berfirman kepada Abram dalam sebuah penglihatan, menjanjikan perlindungan dan imbalan yang besar baginya, Abram mengungkapkan keraguannya. Pertanyaan Abram, "Ya Tuhan, ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku? Aku berlaku tanpa anak, dan anak itu adalah Eliezer dari Damsyik," menunjukkan pergulatan imannya di tengah ketidakpastian.
Pada masa itu, memiliki keturunan adalah tanda berkat dan keberlanjutan. Bagi Abram, yang belum dikaruniai anak dan telah tua, prospek memiliki ahli waris terasa semakin jauh. Ia menyebut Eliezer dari Damsyik, seorang pelayan setianya, sebagai calon pewaris hartanya. Ini adalah pandangan manusiawi, memandang pada apa yang mungkin terjadi berdasarkan kondisi saat itu. Abram belum sepenuhnya memahami bagaimana janji Allah akan terwujud, terutama janji akan keturunan yang akan menjadi bangsa yang besar.
Meskipun demikian, respons Abram bukanlah penolakan terhadap janji Allah, melainkan sebuah ekspresi kejujuran dan kebutuhan akan pemahaman yang lebih mendalam. Ia tidak ragu akan kuasa Allah, tetapi ia bingung mengenai cara realisasi janji tersebut dalam konteks kehidupannya yang belum memiliki anak.
Respon Allah terhadap keraguan Abram sangatlah luar biasa. Allah tidak menegur Abram, tetapi justru menegaskan kembali janji-Nya dengan lebih kuat. Allah membawa Abram keluar dan memintanya untuk memandang ke langit dan menghitung bintang-bintang, jika ia bisa. "Demikianlah keturunanmu akan menjadi," firman Allah. Melalui gambaran bintang yang tak terhitung jumlahnya di langit malam, Allah mengilustrasikan besarnya keturunan yang akan dianugerahkan kepada Abram. Janji ini melampaui pemahaman manusiawi dan menuntut Abram untuk percaya pada apa yang belum terlihat.
Kejadian 15:3 dan percakapan selanjutnya antara Allah dan Abram mengajarkan kita tentang pentingnya dialog dalam iman. Allah menghargai kejujuran hati hamba-Nya. Bahkan ketika kita bergumul dengan keraguan atau ketidakpahaman, tetaplah berbicara kepada Allah. Yakini bahwa janji-janji-Nya adalah ya dan amin. Allah tidak membatasi diri pada cara-cara manusiawi dalam memenuhi janji-Nya. Ia memiliki rencana yang jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Seperti Abram, kita dipanggil untuk menaruh kepercayaan kita sepenuhnya kepada Allah, meyakini bahwa Ia sanggup melakukan lebih dari yang kita minta atau pikirkan (Efesus 3:20). Melalui iman, kita dapat melihat janji-janji-Nya terwujud dalam hidup kita, bahkan ketika jalannya terlihat tidak mungkin.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa iman seringkali bertumbuh melalui proses. Keraguan Abram bukanlah akhir dari perjalanannya, melainkan awal dari sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang kesetiaan Allah. Ia belajar untuk melihat melampaui keterbatasan dirinya dan mengandalkan kuasa ilahi yang tak terbatas. Janji Allah untuk Abram menjadi dasar bagi umat Israel dan, melalui Yesus Kristus, juga bagi semua orang yang percaya kepada-Nya.