Sesudah itu naiklah Allah dari pada Abraham.
Ayat yang singkat namun penuh makna ini mencatat momen penting dalam narasi Alkitab, yaitu Kejadian 17:22. Frasa "Sesudah itu naiklah Allah dari pada Abraham" mengindikasikan sebuah perjumpaan ilahi yang telah usai, meninggalkan jejak dan implikasi yang mendalam bagi Abraham dan bagi rencana ilahi selanjutnya. Peristiwa ini terjadi setelah Allah mengokohkan perjanjian-Nya dengan Abraham, termasuk pemberian nama baru "Abraham" yang berarti "bapa banyak bangsa", dan penetapan tanda perjanjian yaitu sunat.
Ketetapan ilahi ini bukan sekadar pengukuhan janji. Ia adalah penegasan dari sebuah hubungan yang unik dan sakral antara Sang Pencipta dan hamba-Nya. Allah telah memilih Abraham untuk menjadi leluhur dari umat pilihan-Nya, sebuah peran yang diemban dengan penuh tanggung jawab dan iman. Dalam konteks ini, "naiknya Allah" bisa dipahami bukan sebagai perpisahan total, tetapi sebagai transisi dari kehadiran yang begitu terasa dan personal menuju cara kehadiran yang lain, yang mungkin lebih terselubung namun tetap hadir dan membimbing.
Kejadian 17:22 mengingatkan kita akan sifat transenden Allah. Meskipun Allah berinteraksi secara intim dengan manusia, Ia tetaplah pribadi yang Mahatinggi. Momen-momen pertemuan langsung seperti ini, meskipun langka, menandai babak baru dalam perjalanan iman Abraham. Ia kini harus hidup dalam terang perjanjian yang baru saja dikukuhkan, dengan keyakinan yang semakin diperdalam terhadap firman dan janji Allah. Ini juga menyoroti kesetiaan Allah dalam menjaga dan melanjutkan agenda-Nya di bumi, bahkan setelah komunikasi langsung-Nya dengan seorang individu berakhir.
Bagi Abraham, ini adalah saat untuk merefleksikan apa yang telah terjadi dan untuk mulai melangkah maju sesuai dengan pemahaman baru dan tanggung jawab yang diberikan. Pengalaman ini memperkuat imannya dan mempersiapkannya untuk tantangan-tantangan berikutnya. Ayat ini mengajarkan pentingnya mengakui dan menghormati momen-momen perjumpaan ilahi dalam hidup kita, serta kesiapan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya setelah momen tersebut.
Dalam studi teologis, frasa "naiklah Allah" juga dapat diinterpretasikan sebagai penarikan sementara dari bentuk intervensi yang sangat manifest, memungkinkan Abraham untuk tumbuh dalam imannya melalui ketekunan dan ketaatan, bukan hanya melalui pengalaman supranatural yang berulang. Kisah ini berlanjut dengan Abraham yang kemudian melaksanakan perintah Allah, termasuk sunat, sebagai wujud ketaatannya terhadap perjanjian. Kepercayaan penuh kepada Allah menjadi fondasi yang tak tergoyahkan dalam menjalani kehidupan yang telah direncanakan oleh-Nya.