Ketika Rahel melihat, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, menjadi cemburu ia kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: "Berikanlah aku anak, kalau tidak, aku akan mati."
Ayat dari Kitab Kejadian pasal 30, ayat 5, menyajikan momen yang sarat emosi dalam kisah Yakub dan keluarganya. Kejadian ini berlatar belakang kehidupan patriarkal di mana memiliki keturunan, terutama anak laki-laki, merupakan indikator status, berkat, dan kelangsungan garis keturunan. Rahel, istri Yakub yang sangat dicintainya, merasa sangat tertekan dan putus asa karena ketidakmampuannya untuk hamil.
Yakub, yang menikahi Lea dan Rahel (saudari kembar) sebagai bagian dari kesepakatan dengan Laban, ayahnya, memiliki hubungan yang berbeda dengan kedua istrinya. Alkitab mencatat bahwa Yakub lebih mencintai Rahel daripada Lea. Namun, ironisnya, Lea, yang awalnya kurang disayangi, justru dianugerahi banyak anak oleh Tuhan, sementara Rahel tetap mandul. Situasi ini menciptakan ketegangan dan kecemburuan yang mendalam di antara kedua saudara perempuan tersebut, dan berdampak signifikan pada dinamika keluarga Yakub.
Ungkapan Rahel, "Berikanlah aku anak, kalau tidak, aku akan mati," mencerminkan tingkat keputusasaan yang ekstrem. Bagi wanita pada masa itu, mandul sering kali dianggap sebagai tanda ketidaksetujuan Tuhan atau bahkan kutukan. Kehidupan tanpa anak tidak hanya berarti kesepian, tetapi juga hilangnya harapan akan masa depan, penerus, dan dukungan di usia tua. Beban sosial dan pribadi yang dirasakan Rahel sangatlah berat, mendorongnya untuk menyampaikan tuntutan yang dramatis kepada Yakub.
Tuntutan ini bukan sekadar keinginan sederhana, melainkan sebuah ultimatum yang mencerminkan kedalaman luka emosional dan spiritualnya. Ia merasa hidupnya tidak berarti tanpa seorang anak, dan melihat kakaknya, Lea, diberkati dengan banyak keturunan semakin memperparah rasa sakitnya. Perasaan cemburu yang disebutkan dalam ayat ini adalah emosi manusiawi yang kuat, yang seringkali timbul ketika seseorang merasa memiliki sesuatu yang berharga dan tidak dapat dicapai, sementara orang lain dengan mudah memilikinya.
Ilustrasi emosional tentang hubungan Yakub dengan kedua istrinya.
Kisah ini menyoroti bagaimana perjuangan pribadi dapat memengaruhi hubungan antarmanusia dan bahkan iman seseorang. Keputusasaan Rahel, meskipun dapat dipahami, juga menunjukkan kesulitannya untuk sepenuhnya berserah pada rencana Tuhan. Ia mencari solusi segera melalui Yakub, tanpa sepenuhnya menyadari bahwa pemberian anak adalah hak prerogatif Ilahi.
Peristiwa ini juga menjadi awal dari serangkaian tindakan yang diambil Rahel (dan Lea) untuk mendapatkan anak, termasuk praktik memberikan gundik kepada suami mereka dan pertukaran "buah cinta" mandragora. Semua ini menunjukkan bagaimana keputusasaan dapat mendorong orang untuk mengambil langkah-langkah yang tidak konvensional, bahkan berisiko, dalam upaya mereka mencari solusi atas masalah yang melanda. Pada akhirnya, ayat ini menjadi pengantar bagi kisah bagaimana Tuhan akhirnya menjawab doa Rahel dan memberikannya keturunan, meskipun dengan cara yang penuh perjuangan dan pengorbanan.
Kisah Rahel dan Lea dalam Kitab Kejadian terus menjadi pengingat akan kompleksitas hubungan manusia, kekuatan emosi seperti kecemburuan dan keputusasaan, serta perjalanan iman yang seringkali penuh liku-liku sebelum akhirnya menemukan jawaban dan kedamaian.