Berfirmanlah TUHAN kepada Musa, katanya: "Kuduskanlah bagi-Ku semua anak sulung, baik yang lahir pertama dari betina maupun yang pertama dari hewan-hewan yang menjadi milikmu; mereka itu milik TUHAN."
Ilustrasi simbolis petunjuk dan keluaran.
Ayat pembuka dari pasal 13 Kitab Keluaran ini menandai titik balik krusial dalam narasi keluarnya bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Perintah ilahi yang disampaikan kepada Musa bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan sebuah instruksi yang memiliki makna mendalam, baik secara spiritual maupun praktis, bagi identitas bangsa Israel.
"Kuduskanlah bagi-Ku semua anak sulung," demikian firman TUHAN. Kata "kuduskan" mengimplikasikan pemisahan dan penyerahan. Anak sulung, baik manusia maupun hewan, memiliki status istimewa dalam tradisi Semitik kuno. Mereka mewakili generasi pertama, yang tertua, dan seringkali memiliki hak waris serta peranan penting dalam keluarga.
Dalam konteks Keluaran, perintah ini memiliki dua dimensi utama. Pertama, sebagai pengingat akan kebaikan dan kasih karunia Allah. Musa diperintahkan untuk mengenang bahwa saat Allah menghukum Mesir dengan mematikan semua anak sulung Mesir, tidak ada satu pun anak sulung Israel yang binasa. Perintah untuk menguduskan anak sulung Israel adalah cara untuk menghormati dan mengingat campur tangan ilahi yang menyelamatkan mereka dari malapetaka tersebut. Ini adalah tanda terima kasih dan pengakuan atas kedaulatan Allah.
Kedua, sebagai fondasi bagi struktur sosial dan spiritual bangsa Israel yang baru. Anak sulung yang dikuduskan dimaksudkan untuk melayani Allah secara khusus. Dalam sejarah Israel selanjutnya, perintah ini berkembang menjadi pengudusan kaum Lewi untuk melayani di Kemah Suci dan kemudian di Bait Suci. Ini menunjukkan bagaimana Allah membentuk bangsa-Nya untuk memiliki identitas yang unik dan tujuan yang jelas di tengah bangsa-bangsa lain. Penyerahan anak sulung sebagai pengorbanan atau pelayanan adalah cara untuk menegaskan bahwa hidup mereka sepenuhnya berada di bawah kendali dan untuk kemuliaan Allah.
Perintah mengenai hewan juga memiliki signifikansi. Anak sulung hewan, seperti domba atau sapi, dapat dipersembahkan sebagai korban sembelihan. Ini kembali menegaskan bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah harus dikembalikan kepada-Nya sebagai bentuk penyembahan dan pengakuan. Ini juga mengajarkan bangsa Israel untuk tidak menganggap remeh berkat-berkat yang mereka terima, tetapi selalu mengingat sumbernya.
Ayat ini menjadi pijakan bagi banyak ritual dan hukum selanjutnya dalam Perjanjian Lama. Ia mengajarkan tentang pentingnya menghormati yang pertama, yang terbaik, dan yang dikhususkan untuk tujuan ilahi. Dalam memahami Keluaran 13:1, kita diingatkan bahwa Allah memanggil umat-Nya untuk hidup terpisah dari dunia, dikuduskan bagi-Nya, dan mengakui kedaulatan-Nya dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari keluarga hingga pelayanan.
Perintah ini bukan hanya sebuah kejadian di masa lalu, tetapi juga sebuah prinsip yang relevan hingga kini. Dalam banyak tradisi keagamaan, ada penekanan pada memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Ini bisa berupa waktu, talenta, atau sumber daya yang kita miliki. Menguduskan diri bagi Allah berarti hidup sesuai dengan kehendak-Nya, memprioritaskan hubungan dengan-Nya, dan membiarkan karya-Nya dinyatakan melalui kehidupan kita.