"Janganlah engkau mempersembahkan korban sembelihan dari roti yang beragi bersama-sama dengan korban sembelihan karena perjamuan kudus dari darah binatang yang dipersembahkan; janganlah mempersembahkan korban perayaan dari yang beragi itu sampai pagi."
Ayat ini, Keluaran 34:25, merupakan bagian dari serangkaian instruksi yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya mengenai ibadah dan perayaan. Di tengah-tengah tuntunan mengenai berbagai jenis korban dan persembahan, terdapat larangan yang spesifik terkait dengan penggunaan ragi dalam konteks ibadah tertentu. Pemahaman yang mendalam tentang ayat ini memerlukan penelusuran lebih lanjut terhadap makna simbolis ragi dalam tradisi Yahudi dan konteks perayaan yang disebutkan.
Dalam Kitab Suci dan tradisi Yahudi, ragi (chametz) sering kali melambangkan keburukan, dosa, atau pengaruh yang menyimpang. Ia memiliki kemampuan untuk berkembang dan menyebar, mengacaukan kemurnian adonan. Oleh karena itu, dalam banyak kesempatan, ragi dilarang digunakan, terutama selama perayaan Paskah, di mana umat Israel diperintahkan untuk memakan roti tidak beragi (matzah) sebagai pengingat akan keluarnya mereka dari Mesir dengan tergesa-gesa, tanpa sempat menunggu roti mengembang.
Ayat Keluaran 34:25 secara khusus melarang persembahan roti yang beragi bersamaan dengan korban sembelihan "karena perjamuan kudus dari darah binatang yang dipersembahkan." Hal ini menunjukkan bahwa ada dua jenis persembahan yang berbeda: korban sembelihan yang darahnya dipersembahkan (mungkin korban penghapus dosa atau korban pendamaian), dan persembahan roti yang menyertainya. Larangan ini menekankan pentingnya kemurnian dan kekudusan dalam setiap aspek ibadah kepada Allah. Roti yang beragi tidak diperkenankan dalam perayaan yang terkait dengan darah korban yang disucikan, karena hal itu dapat mencemari kekudusan momen tersebut.
Frasa "perjamuan kudus dari darah binatang yang dipersembahkan" mengacu pada perayaan yang melibatkan darah korban yang diangkat kepada Allah. Ini adalah momen yang sangat sakral, di mana umat mendekatkan diri kepada Tuhan. Adanya ragi dalam persembahan roti yang menyertainya akan dianggap sebagai penodaan terhadap kekudusan momen tersebut.
Selain itu, larangan "janganlah mempersembahkan korban perayaan dari yang beragi itu sampai pagi" memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai waktu. Roti beragi tidak boleh disimpan atau disajikan hingga pagi hari setelah perayaan dimulai. Ini mungkin juga terkait dengan upaya untuk mencegah ragi menyebar dan merusak bahan makanan lainnya, atau untuk menekankan kesegeraan dan ketidakberian ruang bagi sesuatu yang melambangkan keburukan dalam ibadah yang kudus.
Keluaran 34:25 mengingatkan kita akan pentingnya kesucian dalam hubungan kita dengan Tuhan. Seperti umat Israel di masa lalu, kita dipanggil untuk mempersembahkan diri kita dengan hati yang murni dan tanpa cela. Simbolisme ragi sebagai keburukan atau dosa mengajarkan kita untuk membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh yang dapat memisahkan kita dari Allah. Perintah untuk menghindari ragi dalam ibadah kudus adalah pengingat konstan untuk memeriksa hati kita dan memastikan bahwa motivasi dan sikap kita benar di hadapan-Nya. Hal ini bukan hanya tentang aturan, tetapi tentang prinsip kekudusan yang mendasarinya, sebuah kebenaran yang tetap relevan bagi umat beriman sepanjang zaman.