"Lalu Petrus turun ke rumah orang itu. Maka bertanyalah ia, katanya: 'Apakah sebabnya maka Tuan memanggil saya?' Dan Kornelius menjawab: 'Empat hari yang lalu kira-kira pada waktu ini aku sedang berdoa di rumahku pada waktu yang kesembilan, ketika lihatlah, seorang perwira berdiri di depanku dengan berpakaian serba indah."
Ayat-ayat dalam Kisah Para Rasul pasal 10 menjadi salah satu momen paling krusial dalam sejarah kekristenan awal. Peristiwa yang melibatkan Rasul Petrus dan seorang perwira Romawi bernama Kornelius menandai sebuah titik balik penting: pembukaan kabar baik Injil kepada orang-orang non-Yahudi. Kisah ini bukan hanya sekadar narasi tentang pertemuan dua individu, melainkan sebuah wahyu ilahi yang mengubah arah misi gereja selamanya.
Kornelius, seorang perwira seribu dari pasukan Italia, digambarkan sebagai orang yang saleh, takut akan Allah, dermawan, dan selalu berdoa. Meskipun ia bukan seorang Yahudi, ia memiliki hati yang terbuka kepada Tuhan dan mencari kebenaran. Pada suatu hari, dalam doanya, ia mendapat penglihatan yang mengarahkannya untuk mengirim orang ke Yope dan memanggil Petrus. Ini menunjukkan bahwa Tuhan bekerja di hati orang-orang di luar lingkaran Yahudi yang telah dikenal.
Di sisi lain, Rasul Petrus pada saat yang sama sedang berada di Yope, menginap di rumah Simon, seorang penyamak kulit. Secara tradisi Yahudi, kontak dengan penyamak kulit dianggap najis, dan makanan atau tempat tinggal dari orang non-Yahudi juga dihindari. Namun, Tuhan memiliki rencana yang melampaui tradisi dan pemahaman manusia saat itu. Ketika Petrus berdoa di atas loteng, ia pun mendapat penglihatan yang luar biasa. Sebuah benda seperti kain besar diturunkan dari langit, berisi segala macam binatang berkaki empat, binatang menjalar, dan burung-burung. Suara Tuhan memerintahkannya untuk menyembelih dan memakan.
Petrus, yang terikat oleh hukum Taurat Yahudi mengenai makanan halal dan haram, awalnya menolak. Namun, Tuhan berfirman tiga kali, "Apa yang telah disucikan Allah, janganlah kamu sebut najis." Penglihatan ini jelas merupakan simbol kuat. Tuhan sedang mengajarkan Petrus bahwa tidak ada manusia yang boleh disebut najis atau rendah di hadapan-Nya. Batasan antara Yahudi dan non-Yahudi, yang begitu kuat dijaga selama berabad-abad, kini mulai dikikis oleh kuasa Injil Kristus.
Ketika orang-orang suruhan Kornelius tiba di rumah Simon, Roh Kudus berbicara kepada Petrus, mengatakan kepadanya untuk pergi bersama mereka tanpa ragu. Hal ini menekankan pentingnya ketaatan Petrus kepada pimpinan Roh Kudus, bahkan ketika itu menantang pandangan dunianya yang sudah terbentuk. Pertemuan Petrus dengan Kornelius dan keluarga serta teman-temannya menjadi momen di mana Injil pertama kali diberitakan secara eksplisit kepada bangsa-bangsa lain.
Saat Petrus mulai berbicara, ia menyadari kebenaran yang baru: "Sesungguhnya aku lihat sekarang, bahwa Allah tidak memandang bulu. Tetapi dalam tiap-tiap bangsa siapa saja yang takut kepada-Nya dan berbuat kebenaran, berkenan kepada-Nya." Pengakuan ini adalah fondasi dari universalitas Injil. Petrus kemudian memberitakan tentang Yesus Kristus, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, dan pengampunan dosa melalui iman kepada-Nya.
Keajaiban terjadi ketika Roh Kudus turun atas semua orang yang mendengar Firman itu, sama seperti yang terjadi atas orang Yahudi pada hari Pentakosta. Mereka yang bukan Yahudi pun mulai berbicara dalam bahasa roh dan memuliakan Allah. Ini adalah bukti nyata dari penerimaan Allah atas bangsa-bangsa lain ke dalam keluarga-Nya melalui Kristus. Petrus dan orang-orang Yahudi yang menyertainya terheran-heran, namun mereka akhirnya menyadari bahwa anugerah keselamatan kini terbuka bagi semua orang yang percaya. Kisah Rasul 10 21 menjadi saksi awal dari misi penebusan universal Kristus yang melintasi batas-batas etnis dan budaya, membuka pintu bagi gereja untuk bertumbuh menjadi persekutuan global yang merangkul segala bangsa.