Kisah para rasul pasal 15 ayat 30, yang berbunyi, "Dan sesudah mereka diantarkan ke Antiokhia, mereka menyampaikan surat itu kepada jemaat," menandai momen penting dalam sejarah kekristenan awal. Ayat ini merangkum akhir dari sebuah perjalanan krusial yang dilakukan oleh Paulus, Barnabas, dan utusan lainnya dari Antiokhia ke Yerusalem. Tujuan utama perjalanan ini adalah untuk berkonsultasi dengan para rasul dan penatua di Yerusalem mengenai pertanyaan fundamental: apakah orang-orang bukan Yahudi yang percaya kepada Yesus Kristus harus disunat dan mengikuti hukum Taurat Musa?
Perjalanan ke Yerusalem tidak hanya sekadar membawa pertanyaan, tetapi juga membawa beban pemikiran dan kekhawatiran dari jemaat Antiokhia. Banyak orang percaya dari latar belakang Yahudi yang bersikeras bahwa untuk menjadi bagian sejati dari umat Allah, orang-orang bukan Yahudi harus terlebih dahulu masuk ke dalam perjanjian dengan disunat. Hal ini menciptakan perpecahan dan kebingungan di antara orang-orang percaya baru yang belum terbiasa dengan tradisi Yahudi. Keputusan yang diambil di Yerusalem akan memiliki dampak besar pada arah perkembangan gereja, menentukan apakah Injil akan tetap menjadi berita baik yang dapat diakses oleh semua orang, tanpa terhalang oleh ritual dan hukum yang spesifik bagi bangsa Yahudi.
Setelah perdebatan dan perenungan yang mendalam, Konsili Yerusalem, sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul pasal 15, akhirnya memutuskan bahwa orang-orang bukan Yahudi tidak perlu disunat. Mereka hanya diimbau untuk menjauhi hal-hal yang dicemarkan berhala, percabulan, dan darah. Keputusan ini merupakan kemenangan besar bagi Injil dan kebebasan yang dibawa oleh Kristus. Surat yang dihasilkan dari konsili ini kemudian dibawa kembali ke Antiokhia untuk disampaikan kepada jemaat.
Ayat 30, "Dan sesudah mereka diantarkan ke Antiokhia, mereka menyampaikan surat itu kepada jemaat," menggambarkan momen ketika pesan kebebasan dan penerimaan ini akhirnya tiba di rumah. Bayangkan kegembiraan dan kelegaan yang melanda jemaat di Antiokhia saat mereka mendengar bahwa tidak ada lagi penghalang ritual yang harus mereka lewati untuk sepenuhnya menjadi bagian dari keluarga Allah. Ini adalah penguatan bahwa iman kepada Yesus Kristus, bukan kepatuhan pada hukum Musa, adalah dasar keselamatan.
Kisah Rasul 15:30 lebih dari sekadar catatan historis. Ayat ini berbicara tentang pentingnya persatuan dalam Kristus, bagaimana perbedaan dapat diselesaikan melalui dialog yang dipimpin oleh Roh Kudus, dan bagaimana Injil harus selalu disajikan sebagai kabar baik yang membebaskan. Pesan ini sangat relevan hingga kini, mengingatkan kita bahwa kasih dan anugerah Allah terbuka bagi siapa saja yang percaya, tanpa memandang latar belakang, budaya, atau status sosial. Penyampaian surat itu adalah titik balik, memperkuat fondasi gereja yang universal dan inklusif, sebuah bukti nyata bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan bagi semua bangsa.