Simbol kebangkitan atau penyembuhan

Kisah Rasul 17:32 - Tanggapan Terhadap Kebangkitan Kristus

"Ketika mendengar tentang kebangkitan orang mati, ada yang mengejek, tetapi yang lain berkata: 'Kami hendak mendengar engkau lagi tentang hal itu.'"

Kisah para rasul pasal 17 mencatat salah satu momen krusial dalam misi Paulus untuk menyebarkan Injil. Berada di Athena, sebuah kota yang terkenal dengan kecerdasan intelektual dan keragaman filsafatnya, Paulus berhadapan dengan berbagai pandangan dunia. Di tengah keramaian Areopagus, tempat pertemuan para filsuf dan negarawan, Paulus menggunakan kesempatan ini untuk berbicara tentang Tuhan yang tidak dikenal, yang ia temukan melalui berhala "Untuk Allah yang Tidak Dikenal". Namun, khotbahnya tidak hanya berhenti pada pengenalan akan Sang Pencipta, tetapi juga merambah pada inti dari iman Kristen: kebangkitan Yesus Kristus dari kematian.

Ayat ke-32 dari pasal ini secara gamblang menggambarkan reaksi beragam dari para pendengar Paulus. Frasa "kebangkitan orang mati" adalah konsep yang asing dan bahkan absurd bagi banyak orang pada masa itu. Filsafat Yunani pada umumnya mengajarkan dualisme antara jiwa dan raga, di mana raga dipandang sebagai penjara bagi jiwa. Gagasan bahwa raga yang mati bisa bangkit kembali, apalagi secara fisik, sangat bertentangan dengan pemikiran mereka. Bagi sebagian orang, gagasan ini hanya menjadi bahan ejekan.

Mereka yang mengejek mungkin melihat ini sebagai kelanjutan dari mitos-mitos Yunani yang mereka anggap tidak masuk akal, atau sebagai tanda kelemahan dan ketidakmampuan Paulus dalam berdebat. Mereka mungkin menganggap Paulus sekadar seorang pengoceh yang mencoba menanamkan cerita-cerita tahayul di tengah masyarakat terpelajar. Sikap skeptisisme dan penolakan ini adalah respons umum terhadap pesan-pesan yang menantang kerangka berpikir yang sudah mapan.

Namun, di sisi lain, ada sekelompok pendengar yang menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. Kalimat "tetapi yang lain berkata: 'Kami hendak mendengar engkau lagi tentang hal itu'" menunjukkan bahwa pesan Paulus, meskipun mengejutkan, berhasil menyentuh sesuatu dalam diri mereka. Mereka tidak langsung menolak, tetapi membuka diri untuk menerima lebih banyak informasi. Mereka melihat ada sesuatu yang menarik, sesuatu yang mungkin layak untuk diselidiki lebih lanjut.

Bagi mereka, kebangkitan orang mati, terutama kebangkitan Yesus, bukanlah sekadar cerita fantastis. Ini adalah titik tolak yang dapat memberikan makna baru pada kehidupan dan kematian. Jika Yesus benar-benar bangkit, maka janji tentang kehidupan kekal dan kemenangan atas kematian menjadi sangat nyata. Pengajaran Paulus, dalam konteks ini, menawarkan harapan yang belum pernah mereka temui dalam sistem kepercayaan atau filsafat yang ada.

Peristiwa di Areopagus ini menggarisbawahi sifat Injil itu sendiri. Injil Kristus sering kali menjadi batu sandungan bagi satu pihak dan hikmat bagi pihak lain, tergantung pada hati dan pikiran pendengarnya. Kisah Rasul 17:32 mengajarkan kita bahwa respons terhadap kebenaran ilahi tidak selalu seragam. Akan selalu ada orang yang menolak karena ketidakpercayaan atau kebanggaan, dan akan selalu ada orang yang mencari kebenaran dengan hati yang terbuka.

Paulus, dalam menghadapi berbagai respons ini, tidak gentar. Ia memahami bahwa tugasnya adalah menyampaikan pesan, sementara pekerjaan transformasi adalah urusan Roh Kudus. Peristiwa di Athena ini menjadi bukti bahwa benih-benih iman dapat ditaburkan bahkan di tengah lingkungan yang paling skeptis sekalipun. Keterbukaan sebagian pendengar untuk mendengar lebih lanjut adalah secercah harapan yang menunjukkan potensi perubahan.