"Tetapi setelah orang-orang Yahudi itu melakukan perlawanan dan menghujat, ia menampar mereka dan berkata: "Darahlah kamu, tetapi aku bebas dari tanggung jawab itu. Mulai sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain."
Kisah yang tercatat dalam kitab Kisah Rasul pasal 18, ayat ke-16, memberikan sebuah gambaran yang kuat tentang keteguhan dan keputusan seorang rasul yang telah dipilih Tuhan, yaitu Paulus. Ayat ini bukan sekadar catatan historis, melainkan sebuah jendela untuk memahami perjuangan para pelayan Tuhan dalam menyebarkan kabar baik, terutama ketika mereka menghadapi penolakan yang keras dan penuh kebencian. Dalam konteks di Korintus, Paulus menghadapi perlawanan sengit dari komunitas Yahudi yang tidak mau menerima ajarannya. Perlawanan ini bahkan sampai pada taraf kekerasan verbal yang tajam, yang digambarkan sebagai "menghujat".
Dalam situasi yang penuh tekanan dan penghinaan ini, respons Paulus sungguh luar biasa. Ia tidak membalas dengan kemarahan yang sama, melainkan dengan sebuah ketegasan yang menunjukkan kesadaran akan misinya dan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan. Pernyataannya, "Darahlah kamu, tetapi aku bebas dari tanggung jawab itu. Mulai sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain," adalah sebuah deklarasi yang monumental. Ini menunjukkan bahwa ia telah melakukan apa yang menjadi bagiannya untuk mencoba menjangkau mereka, namun ketika upaya itu menemui jalan buntu dan bahkan berujung pada permusuhan, ia memiliki kebebasan dan panggilan yang lebih besar untuk tidak membuang-buang waktunya dan energinya pada mereka yang menutup hati.
Frasa "darahlah kamu" dalam terjemahan ini mencerminkan pemahaman teologis yang mendalam, di mana tanggung jawab atas keselamatan seseorang pada akhirnya ada pada diri orang itu sendiri. Paulus tidak mengutuk mereka, melainkan menyatakan bahwa ia telah melakukan tugasnya sebagai pembawa pesan, dan jika mereka memilih untuk menolak, maka konsekuensinya ada pada pilihan mereka. Ini adalah bentuk pelepasan diri dari beban yang tidak seharusnya ia pikul. Tujuannya adalah membawa Injil, bukan memaksa orang untuk menerima.
Keputusan Paulus untuk "pergi kepada bangsa-bangsa lain" adalah bukti dari visi misionernya yang luas. Ia tidak terpaku pada satu kelompok atau wilayah, melainkan memiliki mandat universal untuk memberitakan Kristus kepada semua orang. Ketika pintu di satu tempat tertutup, ia siap untuk membuka pintu di tempat lain. Ini mengajarkan kita pentingnya adaptasi, ketekunan, dan fokus pada misi utama. Penolakan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bisa menjadi sebuah penanda untuk beralih ke ladang pelayanan yang lain yang mungkin lebih siap menerima firman.
Kisah Rasul 18:16 mengingatkan kita bahwa dalam perjalanan iman, kita akan menemui berbagai macam respons. Ada yang menerima dengan sukacita, namun ada pula yang menolak bahkan dengan permusuhan. Namun, seperti Paulus, kita dipanggil untuk tetap setia pada panggilan, bertindak dengan bijaksana, dan memiliki keberanian untuk bergerak maju ke tempat di mana kita dapat terus menjadi garam dan terang, sesuai dengan kehendak Tuhan. Keteguhan Paulus dalam menghadapi kesulitan dan kesiapannya untuk terus melayani bangsa-bangsa lain menjadi inspirasi abadi bagi setiap pengikut Kristus.