Lalu Sostenes, kepala rumah ibadat, ditangkap orang dan dipukul di depan tahta pengadilan. Tetapi Galio tidak mempedulikan hal itu.
Kisah Rasul pasal 18 membawa kita ke tengah hiruk pikuk kota Korintus, salah satu pusat perdagangan dan budaya di Yunani kuno. Di sinilah Rasul Paulus menghabiskan waktu yang cukup signifikan, menabur benih-benih Injil di tengah masyarakat yang heterogen, penuh dengan penyembahan berhala, filsafat, dan godaan duniawi. Bab ini mencatat berbagai pengalaman Paulus, termasuk tantangan, penolakan, dan juga keberhasilan dalam pelayanannya.
Ayat 17 secara spesifik menyoroti sebuah insiden yang terjadi di Korintus. Setelah Paulus berkhotbah dan banyak orang Korintus menjadi percaya serta dibaptis, timbullah gejolak dari pihak kaum Yahudi yang menentang ajaran Paulus. Mereka merasa terancam oleh pemberitaan tentang Yesus Kristus sebagai Mesias yang disalibkan dan bangkit, yang berbeda jauh dari pemahaman mereka tentang Mesias yang seharusnya membebaskan Israel dari penjajahan Romawi.
Dalam konteks ini, Sostenes, yang disebut sebagai "kepala rumah ibadat" (atau sinagoge), tampaknya berada di pihak yang menentang Paulus. Namun, apa yang terjadi selanjutnya sungguh menarik. Alih-alih Sostenes berhasil menghentikan pelayanan Paulus, justru ia sendiri yang menjadi sasaran kemarahan massa. "Lalu Sostenes, kepala rumah ibadat, ditangkap orang dan dipukul di depan tahta pengadilan." Ayat ini mengindikasikan bahwa Sostenes diadili di hadapan Galio, prokonsul Romawi di Akhaya (yang meliputi Korintus). Mungkin Sostenes atau kelompoknya mengajukan tuntutan terhadap Paulus, namun ada kemungkinan bahwa massa yang dipengaruhi oleh ajaran Paulus atau yang merasa terprovokasi oleh Sostenes sendiri yang bertindak di luar batas.
Reaksi Galio terhadap insiden ini sangatlah penting. Perikop ini mencatat, "Tetapi Galio tidak mempedulikan hal itu." Pernyataan ini menunjukkan bahwa Galio, sebagai pejabat Romawi, memandang persoalan yang berkaitan dengan agama dan keyakinan yang dibawa oleh orang-orang seperti Paulus sebagai urusan internal yang tidak perlu campur tangan Romawi, selama tidak mengganggu ketertiban umum atau menimbulkan keributan yang signifikan. Galio kemungkinan besar menganggap perselisihan mengenai ajaran baru ini sebagai perselisihan di antara orang Yahudi sendiri atau sebagai persoalan yang tidak menyangkut hukum Romawi secara langsung. Sikap netral ini, meskipun mungkin terasa acuh tak acuh dari sudut pandang keadilan pribadi Sostenes, justru memberikan ruang bagi Injil untuk terus berkembang di Korintus tanpa intervensi langsung dari otoritas Romawi.
Kisah Rasul 18:17 bukan sekadar catatan insiden lokal, tetapi juga menggambarkan dinamika kompleks antara agama, politik, dan sosial di zaman para rasul. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Kekristenan seringkali diwarnai oleh penolakan, bahkan kekerasan, namun juga oleh campur tangan atau sikap non-intervensi dari pihak penguasa yang tanpa disadari dapat memfasilitasi pertumbuhan iman. Kisah ini mengingatkan kita bahwa di balik narasi besar sejarah keselamatan, terdapat detail-detail peristiwa yang membentuk jalan penyebaran ajaran Kristus di dunia.