Ilustrasi abstrak yang menggambarkan kerumunan orang dengan suara (diwakili oleh lingkaran) di tengah, dan berbagai reaksi orang di sekelilingnya.
Kisah Para Rasul pasal 2 merupakan salah satu momen paling transformatif dalam sejarah Kekristenan. Setelah kenaikan Yesus Kristus ke surga, para murid menantikan janji Roh Kudus. Pada hari Pentakosta, saat mereka berkumpul, terjadi sesuatu yang luar biasa. Angin bertiup kencang, dan lidah-lidah api tampak berdiam di atas kepala setiap orang. Yang paling menakjubkan, mereka mulai berbicara dalam bahasa-bahasa lain yang belum pernah mereka pelajari sebelumnya, sesuai dengan dorongan Roh Kudus.
Kejadian ini menarik perhatian banyak orang yang kebetulan berada di Yerusalem untuk merayakan hari raya itu. Mereka datang dari berbagai bangsa dan latar belakang, dan kini mereka mendengar para rasul berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Bayangkan keheranan mereka! Seseorang dari Parthia mendengar ajaran tentang Kristus dalam bahasanya, begitu pula seseorang dari Media, Elam, Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir, Libia di Kirene, bahkan orang-orang Romawi yang berdiam di sana, baik Yahudi maupun penganut agama Yahudi yang baru. Ini adalah bukti nyata kuasa Injil yang mampu melampaui batas-batas geografis dan linguistik.
Namun, tidak semua yang hadir memahami atau menerima fenomena ini dengan positif. Ayat yang kita kutip, Kisah Para Rasul 2:13, merefleksikan salah satu respons negatif yang muncul. Ketika melihat para murid berbicara dalam berbagai bahasa, sebagian orang justru mencibir dan berkata, "Mereka sedang mabuk oleh anggur manis." Sindiran ini menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk memahami mukjizat yang sedang terjadi. Alih-alih melihat campur tangan ilahi, mereka meresponsnya dengan cara yang paling dangkal dan duniawi, menyamakannya dengan keadaan seseorang yang hilang kendali karena mabuk.
Kejadian ini menggambarkan dualitas respons manusia terhadap kebenaran ilahi. Di satu sisi, ada orang-orang yang terpukau dan membuka hati mereka, seperti yang terjadi pada lebih dari tiga ribu orang yang akhirnya bertobat dan dibaptis pada hari itu. Di sisi lain, ada mereka yang menutup mata dan telinga, memberikan interpretasi yang salah dan merendahkan. Respons "mabuk" ini menjadi semacam filter, di mana orang-orang yang belum siap menerima kebenaran rohani cenderung mencarikan penjelasan yang rasional atau bahkan mengejek.
Karunia bahasa roh yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul 2 bukanlah sekadar pertunjukan kemampuan linguistik. Ini adalah tanda dari kedatangan Roh Kudus yang dijanjikan, yang menandai dimulainya era baru bagi Gereja. Karunia ini berfungsi untuk memberitakan Injil kepada semua bangsa, tanpa terkecuali. Namun, sebagaimana dicatat dalam ayat ke-13, kehadiran hal-hal ilahi di dunia sering kali disambut dengan keraguan dan bahkan ejekan oleh mereka yang pandangannya terbatas pada hal-hal duniawi. Peristiwa Pentakosta ini mengajarkan kita tentang pentingnya membuka hati untuk menerima apa yang di luar pemahaman kita, dan bagaimana kuasa ilahi dapat berbicara dalam cara yang tidak terduga, bahkan ketika ada yang meresponsnya dengan kebingungan atau ketidakpercayaan.