"Kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libya yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi;"
Ayat dari Kitab Para Rasul pasal 2, ayat 9, merupakan salah satu bagian yang paling memukau dalam narasi Pentakosta. Ayat ini mencatat daftar panjang berbagai bangsa dan suku yang berkumpul di Yerusalem pada hari raya Pentakosta. Kehadiran mereka bukan hanya sekadar kebetulan geografis, melainkan sebuah pertanda ilahi yang luar biasa. Bayangkan keramaian di kota suci itu, di mana orang-orang dari wilayah yang sangat beragam, mulai dari Mesopotamia yang subur hingga Kapadokia di Anatolia, berkumpul. Ada pula pendatang dari Roma, baik yang berdarah Yahudi maupun yang telah menganut kepercayaan Yahudi. Keragaman ini mencerminkan jangkauan kasih dan panggilan Allah yang melampaui batas-batas etnis dan kebangsaan.
Namun, poin paling penting dari ayat ini terungkap sesaat setelahnya, ketika Roh Kudus dicurahkan atas para murid. Para murid yang sebelumnya hanya berbicara dalam bahasa mereka sendiri, tiba-tiba mulai berbicara dalam berbagai bahasa lain, sesuai dengan bahasa masing-masing orang yang hadir. Kejadian ini tentu saja menimbulkan keheranan dan kekaguman di antara orang banyak. Mereka mendengar kabar baik tentang karya Allah, bukan dalam bahasa yang asing bagi mereka, melainkan dalam bahasa ibu mereka sendiri. Ini adalah manifestasi nyata dari kuasa ilahi yang mampu mendobrak tembok komunikasi antarbudaya.
Kisah ini bukan sekadar cerita tentang mukjizat linguistik. Ia adalah simbol kuat dari intended purpose (tujuan yang dimaksudkan) dari Injil itu sendiri. Injil dibawa untuk menjangkau semua bangsa, semua suku, dan semua bahasa. Roh Kudus memberikan kemampuan kepada para pengikut Kristus untuk bersaksi secara efektif di tengah keragaman umat manusia. Teks ini mengajarkan kepada kita bahwa komunikasi yang efektif, terutama dalam penyampaian kebenaran ilahi, sangat bergantung pada kemampuan untuk berbicara kepada orang lain dalam cara yang dapat mereka pahami. Ini mendorong kita untuk melampaui pemahaman literal ayat ini dan merenungkan bagaimana kita dapat mewujudkan semangat persatuan dan pemahaman dalam kehidupan kita sehari-hari.
Keajaiban bahasa yang terjadi di Yerusalem itu menjadi pengingat abadi bahwa Allah bekerja dalam cara-cara yang melampaui pemahaman manusia. Ia menjalin benang-benang persatuan di tengah keragaman, dan memberikan sarana bagi pesan-Nya untuk mencapai setiap hati. Ayat ini juga menekankan bahwa pada saat itu, berbagai kelompok etnis dan bahasa berkumpul, dan mereka semua mendengar Injil dalam bahasa mereka sendiri. Ini adalah gambaran awal dari gereja universal yang akan tumbuh dan menyebar ke seluruh dunia, menghubungkan orang-orang dari segala penjuru bumi dalam satu iman.
Pengalaman ini memberikan dasar teologis yang kuat bagi misi universal gereja. Ketika kita membaca kisah ini, kita diingatkan bahwa panggilan untuk memberitakan Injil tidak terbatas pada satu kelompok orang atau satu bahasa saja. Allah menghendaki agar kabar baik tentang keselamatan didengar oleh setiap individu, tanpa memandang latar belakang mereka. Oleh karena itu, penting bagi umat percaya untuk senantiasa mencari cara-cara baru dan efektif untuk menjangkau orang lain, dengan kasih dan pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan mereka.