"Tetapi Paulus, dengan bantuan roh, berkata, 'Mengapa kamu menangis dan menghancurkan hatiku? Sebab aku bersedia bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus.'" (Kisah Para Rasul 21:13)
Ilustrasi perjalanan dan simbol keteguhan
Kisah Para Rasul pasal 21 hingga 25 menceritakan periode penting dalam kehidupan dan pelayanan Rasul Paulus. Bagian ini menyoroti keteguhan imannya, pengorbanannya, dan bagaimana ia terus memberitakan Injil meskipun menghadapi berbagai tantangan, penolakan, dan ancaman. Kisah ini mengajarkan kita tentang keberanian dalam menghadapi kesulitan dan kepercayaan penuh pada panggilan Tuhan.
Pasal 21 dimulai dengan Paulus yang bertekad untuk kembali ke Yerusalem, meskipun telah diperingatkan oleh para nabi dan sahabat-sahabatnya tentang bahaya yang menantinya. Kunjungan ini merupakan pemenuhan janji dan bagian dari rencana besar Tuhan. Sesampainya di Yerusalem, Paulus disambut dengan sukacita oleh Yakobus dan para penatua jemaat. Namun, keberadaannya segera menarik perhatian orang-orang Yahudi yang masih terikat kuat pada hukum Taurat. Mereka menuduh Paulus mengajarkan orang Yahudi di perantauan untuk murtad dari Musa dan menyuruh mereka untuk tidak menyunatkan anak-anak mereka, serta tidak mengikuti adat istiadat.
Untuk meredakan ketegangan dan menunjukkan bahwa ia tetap menghormati hukum Taurat, Paulus mengambil tindakan yang disarankan oleh Yakobus. Ia mengikuti ritual penyucian dan membayar biaya bagi empat orang yang bernazar. Tindakan ini diharapkan dapat meyakinkan orang-orang Yahudi bahwa ia tidak menentang hukum Musa. Namun, keadaan justru memburuk. Di Bait Suci, Paulus dikenali oleh orang-orang Efesus dan massa yang marah menyerangnya. Ia diselamatkan dari kematian oleh tentara Romawi yang dipimpin oleh Tribunus Yulius Lisias.
Pasal 22 hingga 23 mengisahkan bagaimana Paulus berusaha menjelaskan dirinya di hadapan berbagai pihak. Ia berbicara dalam bahasa Ibrani kepada massa yang marah, menceritakan kembali kisah pertobatannya yang dramatis di jalan menuju Damsyik. Namun, penjelasannya justru memicu kemarahan yang lebih besar, sehingga ia harus dibawa ke markas tentara. Keesokan harinya, ia dibawa menghadap Mahkamah Agama Yahudi (Sanhedrin). Di sana, Paulus dengan cerdik memecah belah Sanhedrin dengan menyatakan dirinya sebagai orang Farisi yang percaya pada kebangkitan orang mati. Pertikaian antara orang Farisi dan Saduki di antara para anggota Mahkamah membuat Paulus kembali diselamatkan oleh tentara.
Lebih dari 40 orang Yahudi membuat sumpah untuk membunuh Paulus, namun rencana ini digagalkan oleh keponakan Paulus. Karena ancaman yang terus berlanjut, Paulus kemudian dikirim ke Kaisarea untuk menghadap Gubernur Feliks, di bawah perlindungan tentara Romawi. Di Kaisarea, Paulus harus menghadapi tuduhan yang diajukan oleh para pemimpin Yahudi di hadapan Feliks, lalu di hadapan Gubernur Festus, dan bahkan di hadapan Raja Agripa II.
Pasal 24 hingga 26 merinci persidangan Paulus di Kaisarea. Ia dengan fasih membela diri, menjelaskan keyakinannya pada Kristus dan kebangkitan orang mati, serta menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum bagi tuduhan terhadapnya. Meskipun ia tidak terbukti bersalah, Gubernur Feliks menunda putusannya karena ingin menyenangkan orang-orang Yahudi. Ketika Festus menggantikan Feliks, para pemimpin Yahudi kembali menuntut agar Paulus diadili di Yerusalem. Merasa tidak akan mendapatkan keadilan di sana, dan karena ia adalah warga negara Romawi, Paulus menggunakan haknya untuk mengajukan banding kepada Kaisar di Roma.
Kesempatan ini membawanya ke hadapan Raja Agripa II dan Berenice. Dalam pidatonya yang terkenal di hadapan Agripa, Paulus sekali lagi menceritakan kesaksiannya, menjelaskan bahwa ia diutus oleh Yesus untuk membawa terang Injil kepada bangsa-bangsa lain. Raja Agripa mengakui bahwa Paulus tidak melakukan kesalahan yang layak dihukum mati atau dipenjara. Namun, karena Paulus telah naik banding kepada Kaisar, ia tetap harus dikirim ke Roma. Bagian ini menunjukkan perjalanan iman yang luar biasa, di mana Paulus, meskipun dipenjara dan menghadapi ancaman kematian, tetap teguh pada panggilannya untuk memberitakan kabar baik, percaya bahwa Tuhan akan menyelesaikannya. Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap setia dan berani dalam kesaksian kita, bahkan di tengah kesulitan.