Kisah Para Rasul 26:12 adalah ayat kunci yang menceritakan awal dari sebuah transformasi luar biasa dalam kehidupan Saulus dari Tarsus, yang kemudian dikenal sebagai Rasul Paulus. Ayat ini menjadi titik tolak dari perjalanannya menuju Damsyik, sebuah perjalanan yang penuh dengan tujuan dan wewenang yang kelam.
Pada masa itu, Saulus adalah seorang Farisi yang taat, bersemangat dalam membela Taurat Musa. Namun, semangatnya ini justru membuatnya menjadi penganiaya paling gigih terhadap jemaat Kristus yang baru lahir. Ia percaya bahwa ajaran Yesus dan para pengikut-Nya adalah sesat dan membahayakan tatanan agama Yahudi. Oleh karena itu, ia merasa memiliki mandat dari otoritas keagamaan, sebagaimana tersirat dalam "kuasa dan wewenang Imam Besar," untuk membasmi ajaran baru ini.
Perjalanan ke Damsyik bukanlah sekadar perjalanan fisik. Bagi Saulus, ini adalah misi yang diembannya dengan penuh keyakinan. Ia berangkat dengan surat-surat dari Imam Besar yang memberinya wewenang untuk menangkap para pengikut Kristus di Damsyik dan membawa mereka kembali ke Yerusalem untuk diadili. Dalam benaknya, ia sedang menjalankan tugas suci, membersihkan komunitas Yahudi dari apa yang ia pandang sebagai ancaman.
Namun, Tuhan memiliki rencana yang jauh berbeda. Dalam perjalanan inilah Saulus mengalami perjumpaan yang mengubah hidupnya selamanya. Di tengah jalan, sebuah cahaya terang dari langit tiba-tiba menyilauinya, lebih terang dari matahari. Ia rebah ke tanah dan mendengar suara yang berkata kepadanya, "Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?" Peristiwa dramatis ini, yang dicatat dalam Kisah Para Rasul pasal 9, 22, dan 26, menandai titik balik radikal. Suara itu adalah suara Yesus sendiri, yang ia anggap sebagai musuh.
Perjumpaan dengan Kristus di jalan menuju Damsyik bukan hanya sekadar pengalaman supranatural, tetapi juga awal dari pengenalan yang mendalam akan kebenaran Injil yang sebelumnya ia tolak. Saulus yang tadinya memusuhi, kini diubah menjadi pembela iman yang paling gigih dan efektif. Ia yang berangkat dengan surat kuasa untuk menindas, justru menjadi rasul yang diutus dengan kuasa dan wewenang dari Kristus sendiri.
Kisah ini menekankan bahwa bahkan orang yang paling keras hati dalam penolakannya pun dapat diubah oleh kasih dan kuasa Allah. Ayat 12, meskipun hanya menyebutkan permulaan perjalanan, memegang peran penting karena ia melukiskan konteks di mana transformasi Paulus terjadi. Ia adalah gambaran nyata tentang bagaimana Tuhan dapat menggunakan orang-orang yang paling tidak terduga untuk mewujudkan rencana-Nya, mengubah musuh menjadi sahabat, dan penganiaya menjadi pemberita kabar baik yang tak kenal lelah.