"Dan ia berkata: "Saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah! Allah yang mahamulia telah menampakkan diri kepada nenek moyang kita Abraham, waktu ia di Mesopotamia, sebelum ia diam di Haran."
Ayat pembuka dari pasal ketujuh Kitab Kisah Para Rasul ini menandai sebuah momen krusial dalam narasi Alkitab: permulaan panggilan Allah kepada Abraham. Stefanus, ketika memberikan pembelaannya di hadapan Mahkamah Agama, memulai dengan menyoroti tindakan Allah yang berdaulat dalam sejarah umat-Nya. Panggilan ini bukanlah sekadar sebuah peristiwa biasa, melainkan fondasi dari seluruh rencana keselamatan Allah yang kemudian diwariskan kepada bangsa Israel dan puncaknya dalam diri Yesus Kristus. Kata-kata Stefanus, "Allah yang mahamulia telah menampakkan diri kepada nenek moyang kita Abraham," menegaskan bahwa Allah yang berinisiatif, bukan Abraham. Abraham hanyalah seorang yang dipanggil untuk merespons panggilan ilahi tersebut.
Lokasi spesifik yang disebutkan, "di Mesopotamia, sebelum ia diam di Haran," memberikan konteks geografis dan historis yang penting. Mesopotamia, tanah antara dua sungai (Tigris dan Efrat), adalah pusat peradaban kuno. Di tengah-tengah budaya yang kaya dan kompleks inilah, Allah memilih untuk campur tangan dan memulai sebuah kisah baru yang akan memiliki dampak global. Perpindahan Abraham ke Haran juga merupakan bagian dari proses pemanggilan tersebut, menunjukkan bahwa respons terhadap panggilan Allah seringkali melibatkan meninggalkan kenyamanan dan kepastian demi sebuah tujuan ilahi yang belum sepenuhnya terlihat.
Kisah rasul-rasul 7:2 ini menjadi pengingat akan sifat Allah yang selalu aktif dalam sejarah manusia. Dia tidak pasif atau jauh, melainkan memilih untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerja melalui individu untuk mewujudkan kehendak-Nya. Panggilan Abraham adalah contoh klasik dari bagaimana Allah memilih orang-orang yang tampaknya biasa untuk melakukan hal-hal yang luar biasa demi kemuliaan-Nya. Stefanus menekankan "Allah yang mahamulia," sebuah gelar yang menunjukkan kekudusan, keagungan, dan kuasa-Nya yang tak terbatas. Ini adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu, termasuk nasib individu dan bangsa.
Lebih dari sekadar catatan sejarah, ayat ini mengandung pesan teologis yang mendalam. Ini berbicara tentang iman, ketaatan, dan janji. Abraham harus bertindak berdasarkan iman, percaya pada perkataan Allah meskipun belum melihat terwujudnya janji-janji-Nya secara penuh. Kisah Para Rasul 7:2 adalah titik tolak dari sebuah perjalanan iman yang panjang, yang melalui generasi akan membawa kepada lahirnya bangsa Israel, para nabi, dan akhirnya Sang Juruselamat. Stefanus menggunakan ayat ini untuk membangun jembatan antara masa lalu leluhur mereka dengan kebenaran Injil yang ia saksikan. Dengan mengingatkan pendengarnya akan permulaan panggilan Allah kepada leluhur mereka, ia berharap mereka dapat melihat kebesaran dan konsistensi rencana Allah sepanjang sejarah.
Memahami ayat ini membantu kita merenungkan bagaimana Allah mungkin juga memanggil kita hari ini. Panggilan-Nya mungkin tidak selalu sejelas penampakan ilahi, tetapi seringkali datang melalui Firman-Nya, dorongan Roh Kudus, atau situasi hidup yang mengarahkan kita pada jalan kebaikan dan kebenaran. Seperti Abraham, kita dipanggil untuk merespons dengan iman, bersedia meninggalkan apa yang menahan kita, dan melangkah maju dalam ketaatan, percaya bahwa Allah yang memulai pekerjaan baik dalam diri kita akan menyelesaikannya. Kisah rasul-rasul 7:2 adalah permulaan dari sebuah epik ilahi yang terus bergema hingga kini.