Ayat ini dari Kisah Para Rasul pasal 7, ayat ke-23, membawa kita pada sebuah momen krusial dalam kehidupan Musa. Ini bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah potret kedalaman karakter, panggilan ilahi, dan proses pembentukan seorang pemimpin yang akan memimpin jutaan orang keluar dari perbudakan. Pada usia empat puluh tahun, Musa telah menjalani kehidupan yang luar biasa di istana Firaun. Ia dididik dalam segala hikmat orang Mesir, memiliki kedudukan, dan mungkin juga kemudahan hidup. Namun, di balik semua itu, tersembunyi benih identitas yang tak bisa padam.
Timbullah "keinginan dalam hatinya untuk menengok saudara-saudaranya, bangsa Israel." Kata "menengok" di sini memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar melihat. Ini menyiratkan sebuah dorongan untuk berhubungan, memahami, dan bahkan mungkin merasakan apa yang dialami oleh bangsanya sendiri. Musa, meskipun dibesarkan sebagai pangeran Mesir, tidak pernah sepenuhnya melupakan akarnya. Perintah Firaun untuk membunuh semua bayi laki-laki Ibrani saat ia lahir, dan fakta bahwa ia sendiri diselamatkan dan dibesarkan oleh putri Firaun, menciptakan sebuah dualitas dalam identitasnya. Namun, pada usia ini, dualitas itu mulai mengkristal menjadi kesadaran akan panggilan.
Keinginan ini bukanlah sekadar rasa ingin tahu pasif. Ini adalah panggilan hati nurani yang semakin kuat. Musa mulai menyadari ketidakadilan yang menimpa bangsanya dan mungkin dalam dirinya tumbuh rasa empati yang mendalam terhadap penderitaan mereka. Peristiwa ini menandai titik balik dalam hidup Musa. Ia mulai bergerak dari zona nyaman istana Mesir untuk mencari tahu dan memahami realitas umatnya. Tindakannya selanjutnya, yaitu membunuh seorang Mesir yang menganiaya seorang Ibrani, adalah bukti nyata dari keyakinan dan keberanian yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Kisah Rasul 7:23 mengingatkan kita bahwa identitas sejati seringkali berakar pada asal-usul kita dan kepedulian kita terhadap sesama. Musa, meskipun memiliki masa depan yang cerah di Mesir, memilih untuk berpihak pada bangsanya yang tertindas. Ini adalah kisah tentang bagaimana panggilan ilahi dapat muncul dalam hati seseorang, mendorongnya untuk bertindak demi kebenaran dan keadilan, bahkan ketika itu berarti meninggalkan segala kenyamanan duniawi. Usia empat puluh tahun seringkali dianggap sebagai usia kematangan, dan bagi Musa, itu adalah usia di mana ia mulai bergerak menuju takdirnya yang besar sebagai pembebas Israel.