"Dan ketika ia hendak melakukan keduanya pada hari kedua, ia melihat mereka berkelahi, lalu ia berusaha mendamaikan mereka, katanya: 'Saudara-saudara, mengapa kamu buat aniaya terhadap satu sama lain?'"
Kisah Rasul 7:26 membawa kita pada salah satu momen paling krusial dalam kehidupan Musa, saat ia mulai menyadari panggilan ilahi yang tersembunyi di balik identitasnya sebagai pangeran Mesir. Pada titik ini, Musa telah hidup selama empat puluh tahun di istana Firaun, terdidik dalam segala hikmat orang Mesir. Namun, hatinya selalu terpaut pada nasib bangsanya, orang Israel, yang diperbudak secara brutal di negeri Mesir.
Didorong oleh rasa keadilan dan belas kasih, Musa berulang kali keluar untuk melihat keadaan saudara-saudaranya. Di sanalah ia menyaksikan sendiri kekejaman para penindas. Suatu hari, perhatiannya tertuju pada sebuah pemandangan yang memilukan: seorang Israel dianiaya oleh seorang Mesir. Ini adalah gambaran nyata dari ketidakadilan yang dialami bangsanya setiap hari.
Naluri Musa sebagai seorang yang memiliki darah Israel dan hati yang berbelas kasih tergerak. Tanpa pikir panjang, ia bertindak. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu ia memukul orang Mesir itu hingga mati. Tindakannya ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa ia harus membela yang tertindas dan menegakkan kebenaran. Ia melihat dirinya sebagai agen keadilan yang dikirim untuk membebaskan bangsanya.
Namun, kisah tidak berhenti di situ. Keesokan harinya, saat Musa kembali keluar dan melihat dua orang Israel berkelahi satu sama lain, ia menyadari bahwa tugasnya jauh lebih kompleks. Ayat 7:26 dari Kisah Para Rasul mencatat perkataan Musa yang berusaha mendamaikan mereka: "Saudara-saudara, mengapa kamu buat aniaya terhadap satu sama lain?"
Kata-kata ini sangat penting. Musa tidak hanya berhadapan dengan penindasan dari luar, tetapi juga konflik internal di antara bangsanya sendiri. Ia melihat bahwa sebelum mereka dapat bersatu melawan musuh bersama, mereka harus terlebih dahulu menemukan kedamaian dan kasih di antara mereka sendiri. Kegagalannya untuk mendamaikan kedua orang Israel ini menunjukkan bahwa jalan menuju pembebasan bangsa Israel tidak akan mudah dan akan melibatkan lebih dari sekadar tindakan kekerasan terhadap penindas.
Musa, yang sebelumnya bertindak sendirian dalam membela seorang Israel, kini mencoba menengahi perselisihan di antara sesama orang Israel. Ini adalah langkah pertamanya dalam memahami peran kepemimpinan yang lebih luas yang kelak akan diemban olehnya. Ia harus belajar tidak hanya menjadi seorang pembela, tetapi juga seorang pendamai dan pemersatu. Peristiwa ini menjadi batu loncatan penting bagi Musa, menandai pergeseran dari tindakan impulsif menjadi pemikiran yang lebih matang tentang bagaimana ia dapat melayani bangsanya. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya keadilan, tetapi juga tentang nilai persatuan dan rekonsiliasi di dalam komunitas itu sendiri.