Ayat ini berasal dari bagian penting dalam Kitab Kisah Para Rasul, yaitu pidato panjang Stefanus di hadapan Mahkamah Agama Yahudi. Dalam pidatonya, Stefanus menelusuri kembali sejarah keselamatan umat Israel, dari Abraham hingga kedatangan Yesus Kristus. Ayub 7:40, meskipun seringkali dikutip dalam konteks hubungan Tuhan dengan umat-Nya, sebenarnya adalah pengulangan perkataan Tuhan kepada Musa saat membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Pidato Stefanus merangkum banyak peristiwa penting ini untuk menunjukkan bagaimana umat Israel berulang kali menolak para nabi dan utusan Tuhan, bahkan Yesus sendiri.
Bagian dari pidato Stefanus yang mencakup referensi ke Ayub 7:40 menggarisbawahi peran krusial Musa sebagai pemimpin dan juru bicara Tuhan bagi bangsa Israel. Setelah 40 tahun hidup di istana Firaun, Musa kemudian mengasingkan diri di Midian. Namun, Tuhan memanggilnya kembali melalui semak duri yang menyala, sebuah peristiwa monumental yang menandai awal misi penyelamatan-Nya. Tuhan memerintahkan Musa untuk kembali ke Mesir dan menuntut Firaun untuk membebaskan umat Israel yang telah menjadi budak selama ratusan tahun.
Penolakan Firaun terhadap tuntutan ini berulang kali memicu malapetaka (sepuluh tulah) atas Mesir. Selama proses ini, Tuhan secara konsisten menunjukkan kekuasaan-Nya atas alam dan dewa-dewa Mesir. Musa, meskipun awalnya ragu dan merasa tidak mampu, menjadi alat yang ampuh di tangan Tuhan. Pidato Stefanus mengingatkan pendengarnya akan campur tangan ilahi yang luar biasa ini, yang membawa umat pilihan keluar dari penindasan menuju kebebasan.
Frasa "anakku yang sulung" yang diucapkan Tuhan kepada Musa untuk disampaikan kepada umat Israel, memiliki makna teologis yang mendalam. Ini bukan hanya sekadar identitas biologis, tetapi menunjukkan sebuah ikatan khusus dan kepemilikan. Israel adalah umat pilihan Tuhan, yang dikasihi dan dijaga-Nya. Panggilan ini menekankan hubungan yang intim antara Tuhan dan umat-Nya, sebuah hubungan yang diresmikan melalui perjanjian dan pembebasan dari perbudakan. Sebagaimana anak sulung seringkali memiliki hak istimewa dan tanggung jawab tertentu dalam budaya kuno, demikian pula Israel dipanggil untuk menjadi umat yang kudus dan menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain.
Stefanus menggunakan kisah Musa dan pembebasan Israel ini untuk membangun argumennya. Ia menunjukkan bahwa umat Israel memiliki sejarah panjang dalam menentang pemimpin yang diutus Tuhan. Mulai dari penolakan mereka terhadap Musa sendiri, hingga mereka yang di hadapan Stefanus menolak Yesus Kristus, Sang Mesias. Pidato Stefanus adalah peringatan keras dan pengingat akan kesetiaan Tuhan yang luar biasa, sekaligus kepedihan atas ketidaksetiaan umat-Nya yang berulang kali.
Kisah rasul 7:40, dalam konteks yang lebih luas, adalah pengingat akan karakter Allah yang setia dan penuh kasih, yang terus berupaya memulihkan hubungan-Nya dengan umat manusia, bahkan ketika dihadapkan pada penolakan. Ini adalah bagian dari narasi agung tentang bagaimana Allah bekerja melalui sejarah untuk menggenapi rencana keselamatan-Nya, yang puncaknya adalah melalui pribadi Yesus Kristus. Cerita ini mendorong kita untuk merenungkan kesetiaan kita kepada Tuhan dan bagaimana kita menanggapi panggilan-Nya dalam hidup kita.