Ayat dari Kisah Para Rasul 7:41 menggambarkan sebuah momen krusial dalam sejarah umat Israel, saat mereka berada di padang gurun setelah keluar dari perbudakan di Mesir. Momen ini, yang diceritakan oleh Stefanus dalam pidatonya yang penuh semangat, menyoroti kegagalan mereka untuk tetap setia kepada Tuhan meskipun telah menyaksikan tanda-tanda ajaib dan pembebasan yang luar biasa. Ayat ini berbunyi, "Dan mereka membuat anak lembu pada zaman itu, lalu mempersembahkan korban kepada berhala itu dan bersukacita karena apa yang telah dibuat oleh tangan mereka."
Dalam konteks kisah para rasul, peristiwa ini menjadi sebuah ilustrasi kuat tentang kecenderungan manusia untuk menyimpang dari jalan Tuhan, bahkan ketika mereka baru saja mengalami intervensi ilahi yang spektakuler. Setelah melintasi Laut Merah dan melihat tentara Mesir tenggelam, umat Israel seharusnya memiliki iman yang kokoh. Namun, seperti yang diungkapkan dalam ayat ini, hanya dalam waktu singkat mereka kembali menyembah berhala, meniru kebiasaan bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka.
Pembuatan anak lembu emas ini bukan sekadar tindakan ketidaktaatan; ini adalah penolakan terang-terangan terhadap Tuhan yang telah memimpin mereka keluar dari Mesir dengan tangan yang terulur. Mereka menggantikan gambaran Tuhan yang tak terlihat dan mahakuasa dengan patung buatan tangan, sebuah simbol kelemahan dan ketidakmampuan yang sebenarnya. Kegembiraan yang mereka rasakan saat mempersembahkan korban kepada berhala itu menunjukkan betapa dalamnya mereka telah terjerumus ke dalam penyimpangan spiritual. Kegembiraan yang seharusnya mereka rasakan dalam beribadah kepada Tuhan yang hidup malah digantikan oleh kesenangan sesaat dari ritual berhala.
Kisah ini mengajarkan kita pelajaran berharga tentang pentingnya ketaatan yang konsisten dan ketekunan dalam iman. Godaan untuk kembali kepada cara-cara lama, godaan untuk mencari kepuasan dalam hal-hal duniawi, atau godaan untuk menciptakan "tuhan" kita sendiri dari pencapaian dan keinginan pribadi, selalu ada. Sama seperti umat Israel di padang gurun, kita juga rentan terhadap kesalahan serupa. Kita perlu terus-menerus memeriksa hati kita dan memastikan bahwa kesetiaan kita tertuju kepada Tuhan yang benar, bukan kepada ilusi atau berhala modern.
Stefanus menggunakan peristiwa ini sebagai pengingat yang tajam bagi para pemimpin agama pada zamannya, yang juga menunjukkan sikap keras kepala dan penolakan terhadap ajaran-ajaran baru yang dibawa oleh para rasul. Kisah rasul 7:41 menjadi bukti bahwa pemberontakan terhadap kehendak Tuhan bisa berakar dari masa lalu dan terus berlanjut jika tidak diatasi dengan pertobatan yang tulus. Kisah ini adalah panggilan untuk terus belajar dari sejarah, menjaga hati dari penyimpangan, dan senantiasa berpegang teguh pada kebenaran yang telah dinyatakan, agar kita tidak tergoda untuk "bersukacita karena apa yang telah dibuat oleh tangan kita" sebagai pengganti pengabdian kepada Pencipta kita.
Renungan dari ayat ini mendorong kita untuk lebih berhati-hati dalam setiap aspek kehidupan rohani kita. Apakah kita benar-benar menyembah Tuhan yang satu dan esa, ataukah ada "anak lembu" lain dalam hidup kita yang kita perlakukan dengan lebih penting? Mari kita jadikan kisah ini sebagai pengingat untuk selalu mengarahkan hati dan pikiran kita kepada-Nya, dengan ketaatan yang teguh dan sukacita yang sejati dalam penyembahan yang tulus.