Kisah Rasul 7:47

"Tetapi Salomo mendirikan rumah untuk-Nya."

Ayat dari Kisah Para Rasul pasal 7, ayat 47, ini merujuk pada pembangunan Bait Suci oleh Raja Salomo di Yerusalem. Dalam konteks yang lebih luas, ucapan ini disampaikan oleh Stefanus dalam pidatonya yang bersejarah di hadapan Mahkamah Agama Yahudi. Stefanus tengah menelusuri sejarah bangsa Israel, mulai dari Abraham hingga kedatangan Yesus Kristus, untuk menunjukkan bahwa Allah tidak terbatas pada satu tempat fisik saja, melainkan kehadiran-Nya melampaui batas-batas materi.

Pembangunan Bait Suci oleh Salomo merupakan tonggak penting dalam sejarah Israel. Hal ini menjadi manifestasi fisik dari kehadiran Allah di antara umat-Nya, tempat di mana ibadah, persembahan, dan doa dapat dinaikkan kepada-Nya. Bait Suci ini menjadi pusat spiritual bangsa Israel selama berabad-abad, sebuah simbol dari perjanjian Allah dengan umat pilihan-Nya dan tempat pemulihan hubungan dengan Sang Pencipta.

Namun, Stefanus menggunakan fakta pembangunan Bait Suci ini untuk menggarisbawahi sebuah kebenaran teologis yang lebih mendalam. Melalui perkataan Nabi Yesaya (Yesaya 66:1-2), ia mengingatkan bahwa Allah Yang Mahatinggi tidak dapat dibatasi oleh bangunan buatan tangan manusia, bahkan sebesar dan semegah Bait Suci sekalipun. Langit adalah takhta-Nya, dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya. Lantas, rumah seperti apa yang bisa dibangun manusia untuk-Nya? Pernyataan ini bukanlah untuk merendahkan Bait Suci, melainkan untuk menekankan kebesaran, kemuliaan, dan kemahakuasaan Allah yang tak terbatas.

Makna Rohani yang Lebih Dalam

Dalam pengajaran Kristen, makna Bait Suci semakin diperluas. Ketika Yesus Kristus datang, Ia menyatakan bahwa diri-Nya adalah Bait Suci yang sesungguhnya. Yohanes 2:19 mencatat perkataan Yesus, "Hancurkanlah Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali." Yang dimaksud Yesus dengan "Bait Allah" di sini adalah tubuh-Nya sendiri, yang pada akhirnya akan bangkit dari kematian.

Oleh karena itu, rumah Allah yang sejati kini tidak lagi terbatas pada bangunan fisik di Yerusalem, melainkan telah hadir dalam diri Yesus Kristus. Lebih lanjut lagi, setelah kenaikan-Nya ke surga dan pencurahan Roh Kudus, para pengikut-Nya, yaitu jemaat, dipermaklumkan sebagai Bait Roh Kudus. 1 Korintus 6:19 mengingatkan, "Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?"

Dengan demikian, Kisah Rasul 7:47, meskipun mengacu pada pembangunan Bait Suci oleh Salomo, membuka pemahaman kita akan kehadiran Allah yang terus berkembang dan berpindah. Dari sebuah bangunan fisik yang megah, kini kehadiran-Nya bersemayam dalam diri Kristus, dan selanjutnya dalam hati setiap orang percaya. Ini adalah sebuah pengingat bahwa kita, sebagai individu maupun sebagai komunitas, adalah tempat tinggal bagi Sang Ilahi. Kehadiran-Nya bukan lagi tentang lokasi geografis, melainkan tentang hubungan spiritual yang intim dan pribadi.

Memahami ayat ini dalam konteks yang lebih luas mengajarkan kita untuk tidak hanya terpaku pada bentuk-bentuk luar ibadah, tetapi untuk lebih mengutamakan hati yang tulus dan hubungan yang benar dengan Allah. Rumah yang sesungguhnya bagi Allah adalah hati manusia yang dipenuhi oleh kasih, ketaatan, dan penyembahan kepada-Nya. Itulah bait yang dikenan-Nya, di mana pun dan kapan pun.

Simbol Bait Suci dan Roh Kudus