Kisah Rasul 7:48

"Tetapi Yang Mahatinggi tidak berdiam di dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, seperti yang dikatakan oleh nabi:
'Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku; kuil macam apa yang akan kamu bangun untuk-Ku? Firman TUHAN.
Tempat kediaman macam apa yang akan kamu sediakan untuk-Ku?'"
Simbol Dewa yang Maha Tinggi

Ayat dari Kitab Kisah Para Rasul pasal 7, ayat ke-48, adalah kutipan penting yang disampaikan oleh Santo Stefanus dalam pidatonya yang berani. Kutipan ini menggemakan perkataan nabi Yesaya dan menegaskan sebuah kebenaran fundamental mengenai sifat Allah dan tempat ibadah yang sesungguhnya. Stefanus, saat berhadapan dengan Mahkamah Agama Yahudi, menggunakan ayat ini untuk menjelaskan bahwa Allah Yang Mahatinggi tidak terbatas pada sebuah bangunan fisik, sekokoh atau semegah apapun itu.

Pernyataan bahwa Allah "tidak berdiam di dalam kuil-kuil buatan tangan manusia" merupakan sebuah penolakan terhadap pandangan sempit yang menyamakan hadirat ilahi dengan sebuah struktur arsitektur. Kuil Yerusalem, meskipun merupakan pusat ibadah bagi bangsa Israel dan sangat sakral, bukanlah rumah fisik bagi Sang Pencipta semesta. Allah, dalam kebesaran dan kemuliaan-Nya, melampaui segala ciptaan, termasuk bangunan yang dibangun oleh tangan manusia. Langit adalah takhta-Nya, dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya; betapa luas dan tak terhingga kah Allah jika dibandingkan dengan ruang terbatas sebuah bangunan.

Stefanus menekankan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat tinggal yang diciptakan oleh manusia. Hal ini bukan berarti ibadah di bait suci itu salah atau tidak penting, melainkan sebuah pengingat bahwa fokus utama ibadah seharusnya adalah kepada Allah itu sendiri, bukan pada kemegahan materi bangunan. Kebenaran ini sangat relevan pada masanya, ketika banyak orang cenderung mengagungkan bentuk luar dan ritual formal tanpa memahami esensi spiritualnya. Stefanus mengingatkan mereka bahwa Allah mencari hati yang tulus dan penyembahan dalam roh dan kebenaran, bukan sekadar persembahan fisik.

Dalam konteks sejarah, pernyataan ini juga menyoroti transisi dari ibadah yang berpusat pada bait fisik menuju pemahaman yang lebih luas tentang kehadiran Allah. Setelah kehancuran Bait Yerusalem, umat beriman menemukan bahwa iman dan ibadah kepada Allah tidak berhenti. Justru, pemahaman tentang Allah semakin diperluas: bahwa Dia hadir di mana pun umat-Nya berkumpul dalam nama-Nya, dan bahkan di dalam hati setiap orang percaya yang telah diubahkan oleh Roh Kudus.

Kisah Rasul 7:48 mengajarkan kita untuk senantiasa merefleksikan pemahaman kita tentang Allah. Apakah kita cenderung mengukur kehadiran-Nya hanya pada tempat-tempat yang dianggap sakral, ataukah kita menyadari bahwa Dia hadir dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam setiap momen ketika kita mencari-Nya dengan sungguh-sungguh? Allah Yang Mahatinggi adalah Roh, dan mereka yang menyembah Dia harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran. Bait ibadah yang sesungguhnya adalah hati kita yang bersih dan hidup yang dipersembahkan bagi kemuliaan-Nya.