Kisah para Rasul pasal 7 mencatat salah satu pidato paling berani dan signifikan yang pernah disampaikan oleh Stefanus, seorang diaken yang penuh iman dan Roh Kudus. Di hadapan Mahkamah Agama Yahudi, Stefanus tidak gentar mengutarakan kebenaran, menguraikan sejarah keselamatan bangsa Israel, dan dengan tegas menyoroti kegagalan mereka dalam memahami dan menerima utusan Allah. Bagian akhir dari pidatonya, yang diawali dengan kutipan dari Nabi Yesaya, memberikan penegasan mendalam tentang sifat sejati Allah dan hubungan-Nya dengan umat-Nya.
Ayat 49 ini adalah puncak dari argumen Stefanus. Ia mengutip firman Tuhan yang menyatakan, "Langit adalah tahta-Ku dan bumi adalah pijak kaki-Ku." Pernyataan ini bukan sekadar deskripsi fisik, melainkan sebuah pengajaran teologis yang fundamental. Allah yang Mahatinggi, Sang Pencipta alam semesta, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Langit, dengan segala keagungannya, hanyalah tempat duduk-Nya, dan bumi, yang luas terbentang, hanyalah tempat kaki-Nya berpijak. Ini menunjukkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terukur, yang melampaui segala ciptaan.
Kemudian, Stefanus melanjutkan dengan pertanyaan retoris yang sangat penting: "Rumah manakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku dan di manakah tempat perhentian-Ku?" Pertanyaan ini secara tajam menyentuh kesalahpahaman banyak orang pada masa itu, termasuk para pemimpin agama yang mendengarkan Stefanus. Mereka berfokus pada pembangunan Bait Suci fisik di Yerusalem, menganggapnya sebagai satu-satunya tempat kehadiran Allah. Namun, Stefanus mengingatkan mereka bahwa Allah tidak dapat dikurung dalam bangunan buatan tangan manusia, sekokoh dan semegah apapun itu. Kehadiran-Nya jauh lebih luas dan mendalam.
Melalui ayat ini, Stefanus ingin menegaskan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat tinggal seperti manusia. Allah adalah Roh, dan kehadiran-Nya meliputi seluruh ciptaan. Sebaliknya, yang Allah inginkan adalah hati yang taat dan jiwa yang berserah kepada-Nya. Ia mencari tempat kediaman dalam diri orang-orang yang mengasihi-Nya dan menaati perintah-Nya. Bait Allah yang sesungguhnya adalah hati manusia yang dipenuhi oleh kasih dan iman kepada-Nya.
Konsekuensi dari pidato Stefanus ini sangat tragis. Para pendengarnya merasa tertusuk hati oleh kebenaran yang disampaikan. Mereka tidak mampu menerima teguran atas ketidaksetiaan mereka. Alih-alih merenungkan perkataan Stefanus, mereka menutup telinga dan hati mereka, bahkan melempari Stefanus dengan batu hingga ia mati syahid. Namun, di tengah kekejaman itu, Stefanus tetap teguh dalam imannya, memohon kepada Yesus untuk menerima rohnya dan mengampuni mereka yang menganiayanya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kesaksian Kristus, bahkan dalam menghadapi kematian, dapat menghasilkan buah yang luar biasa, dan bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu, termasuk takdir umat-Nya.
Kisah Rasul 7:49 mengajarkan kita untuk tidak membatasi pemahaman kita tentang Allah hanya pada bentuk-bentuk ritual atau bangunan fisik. Allah adalah Allah yang transenden, yang hadir di seluruh alam semesta, namun juga imanen, yang berdiam dalam hati orang-orang beriman. Marilah kita merespons panggilan-Nya dengan hati yang terbuka, membangun "rumah" bagi-Nya di dalam diri kita melalui ketaatan, kasih, dan penyembahan yang tulus.